3 Desember 2010

Ini Aceh, Bang! (Sisi Lain Pengungsi Tsunami Aceh)

“Dulu Bang, sebelum tsunami, kampung kita sangat ramai. Banyak pemudanya. Sekarang Abang lihat saja sendiri, hanya kami yang tersisa.”

Minggu, 26 Desember 2004 adalah hari kelabu bagi Aceh. Pagi itu, gelombang tsunami telah menerjang dan meluluhlantakkan sebagian besar pesisir barat Aceh.

Kampung UM (nama kampung sengaja saya samarkan) yang secara geografis terletak di pesisir barat Aceh, juga tak luput dari ancaman tersebut. Ombak setinggi pohon kelapa itu telah menghempaskan kampung ini, sekaligus menorehkan kenangan tersendiri di benak warganya yang selamat.

Cerita ini coba melihat sisi lain kehidupan warga di kamp pengungsian korban tsunami.

Warga kampung UM yang tinggal di tenda-tenda pengungsian korban tsunami, mempunyai kehidupan sosial yang cukup dinamis. Sekiranya ada dua ratusan tenda dan rumah kayu sederhana didirikan mengelilingi lapangan bola, membentuk sebuah kesatuan sosial tersendiri. Sebuah komunitas baru telah dibentuk.

Pemuda misalnya, mereka banyak yang menyukai olah raga sepak bola. Biasanya, kegiatan olah raga ini dilakukan tiap sore, sepulang mencari ikan di laut. Sepak bola menjadi tontonan menarik dan menghibur bagi warga di tengah penatnya rutinitas sehari-hari.

Masih banyaknya pemuda yang ‘tersisa’ di kampung ini menjadikan kamp pengungsian selalu “hidup”. Suara musik house sering terdengar begitu keras di beberapa tenda yang dihuni oleh para pemuda. Pernah suatu ketika, hari menjelang maghrib, suara adzan di meunasah (Aceh: masjid) berkumandang, namun di sebuah tenda yang letaknya dekat sumber air umum itu, tak kalah kerasnya bunyi musik berdentum. Rupanya, dentuman musik itu membuat marah beberapa golongan orang tua yang hendak pergi ke meunasah. Tak ayal, pemuda itu pun ditegur agar segera mematikan suara musiknya.

Kehidupan malam di kamp pengungsian ini terkonsentrasi di tenda masing-masing. Bila kita telusuri di beberapa tenda yang dihuni oleh para pemuda itu, mereka mempunyai kebiasaan tersendiri. Banyak di antaranya adalah penghisap bakong (Aceh: ganja), daun alami yang banyak tumbuh di tanah rencong ini. Sambil menghisap, mereka mengisahkan tentang banyak hal.

Di sebuah tenda milik Mistariadi misalnya, sekitar sepuluhan pemuda tengah berkumpul. Mereka melakukan kegiatan apa saja sesuka hatinya. Ada yang sedang bermain catur, memetik gitar, bahkan ada yang “main batu” – semacam judi mirip permainan dadu. Tentu saja, wangi aroma bakong pun menyeruak dan menelusup keluar melewati celah pintu tenda yang tak tertutup rapat.

Menghisap bakong di tempat ini sepertinya hal yang lumrah, sudah biasa. Entah dari mana mereka mendapatkan ‘barang’ itu begitu mudahnya. “Ini Aceh, Bang!” ucap seorang pemuda. Di tenda ini memang tak pernah sepi oleh pemuda yang biasa berkumpul. Cerita pengalaman keseharian mereka ungkapkan – mewarnai kehidupan masing-masing. Bila bercerita tentang keadaan kampung sebelum tsunami, mereka selalu membuat batasan waktu dengan sebutan “dulu”. Maksudnya, musibah tsunami dijadikan acuan batas waktu atau sekat untuk membedakannya dengan waktu sekarang.

“Dulu Bang, sebelum tsunami, kampung kita sangat ramai. Banyak pemudanya. Sekarang Abang lihat saja sendiri, hanya kami yang tersisa,” tutur Syakri sembari mengepulkan ‘asap surga’ ke langit-langit tenda. Pemuda lainnya, Iwan, Hamidi, Nazar, dan Mistariadi juga larut dengan cerita pengalaman hidupnya sebelum tsunami. Mereka mengenang masa-masa konflik berkepanjangan yang melanda tanah ini: Aceh.

Menurut mereka, hampir semua kaum laki-laki di kampung ini pernah mendapat hadiah dari aparat: tamparan dan tendangan. Sudah menjadi makanan sehari-hari, begitu istilahnya. Hanya Syakri, katanya, yang belum pernah mendapat hadiah itu. Dia mengaku bahwa dirinya belum pernah sekalipun kena pukul aparat. “Mereka sayang Bang sama saya. Betul Bang. Karena saya berani bicara bahwa saya bukan GAM.” Entah benar atau tidak, yang jelas obrolan dalam suasana akrab itu membuat mata kami semakin memerah, perih, dan sayu. Malam kian larut. Saya berpamitan.

Di tenda lain, tenda milik Bang Pah, beda lagi ceritanya. Bang Pah, seorang toke kepiting ini, suka mengundang kami untuk makan mie kepiting di tenda miliknya. Dengan dibantu oleh pemuda lain untuk menyiapkan masakan mie kepiting itu, Bang Pah juga terlihat sibuk mengumpulkan daun-daun bakong untuk dijadikan satu dicampur dengan bumbu lain. “Biar lebih enak,” ujarnya.

Selain suka bermain bola, pemuda di kampung ini ternyata mahir memasak. Mereka pandai meracik dan mengolah bumbu dapur. Menyulap masakan, terutama mie kepiting menjadi masakan dengan rasa yang khas bikin lidah bergoyang. Bagi Anda yang belum pernah menyantap hidangan mie kepiting khas bikinan pemuda kampung ini, rasanya kurang pas bila belum mencobanya. Mereka sering mengucapkan kalimat “Mangat that!” yang artinya enak sekali. Ungkapan itu biasa terucap ketika menyantap hidangan bersama-sama.

Kegemaran berkumpul pemuda dan juga warga lainnya di kampung ini, membentuk wacana tersendiri. Tak hanya di tenda, berkumpul untuk sekadar berbincang-bincang sambil minum kopi paling sering dilakukan di kedai-kedai.

Di kedai milik Bang Boy misalnya, banyak dikunjungi kaum laki-laki. Dari pagi hingga sore kedai ini tak pernah sepi dari pengunjung. Selain karena kedainya menyediakan berbagai kebutuhan warga, seperti makanan, minuman, dan alat-alat pancing, kedai Bang Boy juga biasa menerima pembayaran kasbon (pembeli bisa mengutang). Letak kedainya sangat strategis, posisinya berada di pinggir jalan masuk menuju kamp pengungsian ini. Halaman depan kedainya juga dijadikan tempat menampung ikan oleh beberapa toke (bandar) ikan yang ada. Makanya, sesepi apapun kedai Bang Boy, ya ada satu-dua bahkan beberapa orang yang menjadi pelanggan tetapnya.

Kedai Bang Boy adalah salah satu kedai yang sering kami kunjungi. Karena banyak warga yang menjadikan kedai ini sebagai salah satu tempat sosialisasi. Informasi-informasi seputar persoalan kampung, keluh kesah para nelayan, atau bualan-bualan dari seorang mantan gerilyawan meluncur begitu saja. Tapi jangan salah, karena di kampung ini juga ada pos aparat TNI yang bertugas, terkadang obrolan bisa jadi tak sebebas seperti di tenda-tenda pada malam hari. Ada batasan untuk hal-hal yang ‘sensitif’ terutama yang menyangkut masalah politik. Bahkan seorang bapak pernah mengingatkan, “Politiek hana titiek”. Bicara politik itu tak pernah ada ujungnya.
---***---
Gampong Lon, November 2005