Segera saja, Penangguk membawa binatang itu ke perapian untuk dicabuti bulunya. Ketika tengah asik mencabuti bulu binatang itu, datanglah seorang rerayo (orang tua). “Louk apo yoya?” (Daging apa itu?) Tanyanya. “Musang.” Penangguk pun menjawabnya sambil membalik-balikan binatang itu di atas perapian. Tapi setelah orang tua itu menjelaskan bahwa binatang itu bukan musang, seketika saja wajah anak-anak berubah kecut.
Membayangkan akan menyantap daging yang enak sirna sudah. Binatang itu ternyata bukan Musang, melainkan Trenggelung. Kata orang tua tadi, Trenggelung memang mirip dengan Musang. Hanya saja, Musang mempunyai ekor yang agak panjang. Dan daging Trenggelung rasanya tak enak.
Tapi tak apalah, meski sudah tahu binatang itu bukan Musang, anak-anak tetap saja meneruskan untuk mengolah dagingnya. Selesai dikuliti, lantas daging itu dipotong-potong dan dicucinya di sungai dan direbus – dicampur bumbu-bumbu yang ada. Cabe merah, bawang merah, dan bawang putih. Sebagai penyedap rasa, ditambah kecap manis, garam, dan sedikit masako.
Benar saja, seorang murid yang menyantapnya dibuat mual dan muntah-muntah karena rasa daging yang tak enak itu. Daging yang masih tersisa banyak itu pun lantas dibuangnya. Dikira Musang, ternyata Trenggelung.
---***---
Bangko-Jambi, 25 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar