5 September 2010

Program Bantuan Membawa Perubahan?

(Sebuah catatan lapangan tentang sikap, perilaku, dan strategi komunitas korban bencana tsunami di Desa Ujong Muloh – Aceh Jaya, NAD)

Daud dan Amir (bukan nama sebenarnya) yang masing-masing berprofesi sebagai penebang kayu dan pedagang ikan di pasar Lamno, seringkali terlihat sibuk membawa map berisi proposal. Pada tahun 2005 hingga pertengahan 2006, banyak sekali NGO atau lembaga asing yang mempunyai program, di antaranya pemberdayaan ekonomi bagi komunitas korban bencana tsunami di Aceh.

Sebagai kampung yang terkena tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu, Ujong Muloh* juga tak luput dari perhatian dunia. Begitu banyak bantuan dan program pemberdayaan ekonomi terutama dari lembaga asing.

Saya sering dimintai tolong oleh kedua orang itu untuk mengetikkan proposal permohonan bantuan ke sejumlah NGO yang ada. Proposal itu berisi permohonan usaha dagang untuk kedai dan usaha dagang ikan. Saya mengetikkan beberapa lembar kertas yang ditulis tangan olehnya.

Malam berikutnya Daud datang lagi. “Gak ada tanda tangan camat-nya,” katanya. Surat itupun saya perbaiki. Selang dua hari, dia datang lagi bersama Amir. Meminta saya untuk memperbaiki lagi proposal itu. “Apa lagi yang salah Bang?” tanya saya. “Gak ada. Cuma ada yang harus diganti nama-nama barangnya,” ujar Daud.

Proposal tersebut adalah pengajuan beberapa warga yang dikoordinir oleh Daud dan Amir sebagai ketua dan sekretaris. Ini yang kedua kalinya mereka meminta saya untuk memperbaiki proposal itu. Sekarang yang diganti adalah daftar ajuan kebutuhan barang.

Berikutnya Daud datang seorang diri, malam itu sudah hampir pukul 23.00. Dengan sedikit kesal, saya pun memperbaiki proposalnya. Kali ini yang minta diperbaiki adalah daftar nama-nama orangnya. Sebenarnya, ketikkan hasil saya itu tidak ada yang salah. Namun saya heran juga kenapa mesti bolak-balik minta diganti ini-itu?**.

Selang beberapa hari kemudian, giliran Amir datang ke tempat saya. Sambil memberikan sebungkus rokok, dia minta tolong mengetikkan surat permohonan usaha yang lain. “Lah… yang kemarin itu jadi diajukan ke NGO, Bang?” tanya saya. “Itu untuk NGO yang lain. Sekarang saya minta tolong ketikkan buat usaha becak,” pintanya.

Sebetulnya, saya agak malas untuk mengetikkan proposal-proposal milik warga itu. Terkadang hingga larut malam saya harus menyelesaikannya. Dan bila ada proposal yang belum selesai saya ketik, mereka selalu menggerutu di belakang saya. Hmm…

Saya sering melihat kedua orang itu sibuk bolak-balik mencari geuchik (kepala desa) untuk minta tanda tangannya. Mereka sering juga ke kantor camat, menenteng beberapa proposal. Nah, suatu saat saya bertemu Daud dan Amir lagi. Tak dinyana, mereka meminta saya lagi untuk mengetikkan proposal yang lain. Katanya, biar bisa disebar ke beberapa NGO. Saat itu saya memberanikan diri untuk menolak permintaan mereka. Bukan apa-apa, karena saya berpikir bahwa proposal-proposal mereka itu sesungguhnya fiktif.

Mereka berharap dan terus berharap dengan proposal yang mereka ajukan dan disebar ke sejumlah NGO, bisa mendapatkan bantuan yang banyak. Waktu mereka banyak terbuang percuma dengan mondar-mandir ke kantor desa, kantor camat di Lamno atau hingga ke Calang – yang jaraknya lumayan jauh itu. Terdengar kabar tentang mereka berdua, bahwa semua proposal yang diajukannya tidak ada yang disetujui oleh NGO.

Bila Daud dan Amir serta beberapa orang warga yang lain sibuk membuat dan menyebar proposal ke sejumlah NGO, lain halnya dengan Jamal (bukan nama sebenarnya) yang seorang duda itu. Jamal seakan tak peduli dengan itu semua. Sehari-harinya Jamal hanya kerja serabutan. Dia sering terlihat bantu mencuci piring dan mengambilkan air di kedai milik Bang Boy. Setahu saya, dia tak pernah sekalipun minta tolong diketikkan permohonan atau proposal bantuan untuk diajukan kepada NGO. Dia tak pernah ribut bila tidak mendapat bantuan. Dan tak pernah kelihatan mengeluh pada nasibnya itu.

“Kok gak pernah bikin proposal seperti orang lain, Bang?” tanya saya sedikit penasaran. “Halah buat apa bikin proposal. Biarin saja…” ungkapnya.

Program-program bantuan yang ditelorkan oleh sejumlah lembaga atau NGO itu sepertinya memunculkan pandangan dan bermacam perilaku tersendiri. Bagi warga di kampung ini, semua bantuan yang masuk itu harus bisa dibagi rata ke semua kepala keluarga (KK) yang ada, berapapun besar bantuannya. Agar semua bisa merasakan manfaatnya. Tentu saja, pandangan tersebut menimbulkan pro – kontra di komunitas sendiri. Salah-salah, konflik horizontal pun bisa terjadi.

Mudah-mudahan cerita ini bisa menjadi refleksi bagi kita. Terutama di daerah bencana yang lain.
---***---
* Secara administratif, Desa Ujong Muloh berada dalam wilayah Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Jarak tempuh dari ibukota propinsi (Banda Aceh) sekitar 3 jam dan berjarak kira-kira 90 km arah tenggara kota Banda Aceh. Karena letak kampungnya yang berada di pesisir barat NAD, Ujong Muloh termasuk salah satu kampung dengan tingkat kerusakan paling parah bersama kampung-kampung lain yang juga berada di pesisir dalam satu kecamatan.

** Rupanya, ada beberapa orang yang membuat proposal berbentuk permohonan usaha bersama/kelompok dengan ‘mencatut’ nama-nama warga yang lain di dalam proposalnya itu, sehingga nama orang yang bersangkutan (yang dicatut namanya) merasa tidak tahu-menahu soal proposal yang diajukan. Karena ada sejumlah NGO yang mempunyai sasaran ke program usaha bersama atau kelompok, maka peluang demikian selalu disiasati oleh beberapa warga untuk memuluskan proposalnya itu. Kenyataan lain di lapangan, nama-nama anggota kelompok di dalam proposal yang diajukan ke NGO, biasanya berisi daftar nama keluarga dekatnya atau familinya. Biasanya pula, si pembuat proposal akan merahasiakan apa isi dalam proposal itu terhadap warga yang lain. “Jangan bilang-bilang ke orang lain ya, kalau saya bikin proposal ini.” Pinta salah seorang warga kepada saya.


Lamno-Aceh Jaya, Juli 2007