8 November 2008

Tim Indonesia 4x4 Expedition ke Rimba



Tim Indonesia 4x4 Expedition mengunjungi Sokola Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) – Jambi. Ekspedisi bertema budaya yang dimotori oleh Land Rover Club Indonesia (LRCI) ini memperlihatkan bahwa offroaders tak hanya sekadar bermain dan bersenang-senang saja dengan mobil offroad-nya.

Selain memberikan pelayanan pengobatan gratis untuk Orang Rimba, para offroaders juga mengenal dan memahami lebih dekat kehidupan Orang Rimba, belajar cara hidup di alam bebas seperti bagaimana cara membuat jerat binatang buruan dan cara membuat shelter alam yang baik.

Meski hanya tiga hari (12-14 Oktober 2008) berada di Makekal Hulu – TNBD, kesan yang ditorehkan di kawasan hidup Orang Rimba itu begitu mendalam. Salut!!
---***---
Bangko-Jambi, Oktober 2008

27 Agustus 2008

Membuka Lahan, (... Lalu Menanam Motor)

Suatu hari, saya diajak oleh seorang bepak (bapak) yang akan membakar ladang/huma yang sudah dibiarkannya selama 3 bulan itu. Lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami di wilayah Makekal Hulu TNBD. Beberapa anak juga turut serta untuk membantu menyulutkan api pada ranting-ranting dan dahan pohon tebangan yang sudah mengering itu. Lima batang buluh yang telah diberi sumbu berisi minyak tanah segera mereka sulut. Mereka mulai berpencar ke berbagai sudut lahan dan tak lama kemudian kobaran api segera menyambar-nyambar dedaunan dan ranting-ranting kering itu. Menjadikan langit gelap seketika.

Lahan ini rencananya akan ditanami pohon karet (para). Menurut Bepak Muncang, si pemilik lahan, untuk membuka lahan baru ini membutuhkan biaya sebesar 3 juta. Biaya itu antara lain untuk ongkos tebang menggunakan mesin sainsaw – yang biasa dikerjakan oleh orang desa. Bepak Muncang sengaja membiarkan kayu-kayu tebangan itu untuk dibakar saja, karena untuk memanfaatkan (membelah) kayu hasil tebangan itu juga membutuhkan biaya yang tinggi, bisa mencapai 1 juta rupiah per meter kubiknya.

Sebagian besar ladang-ladang di wilayah Makekal Hulu ini umumnya ditanami pohon karet. Tiap ladang mempunyai tegakan pohon karet yang berbeda-beda umur tanamnya. Dan pohon karet yang sudah bisa dipotong (disadap getahnya) biasanya yang sudah mencapai umur 8 tahun. Sepertinya, pohon karet ini menjadi komoditas favorit bagi sebagian besar komunitas Orang Rimba yang mendiami wilayah Makekal Hulu. Pada dasarnya, Orang Rimba bermatapencaharian sebagai petani (ladang/huma). Karenanya, kebutuhan untuk membuka dan memiliki lahan dirasa cukup tinggi. Di sini, faktor kepemilikan lahan menjadi penting.

Kepemilikan lahan (ladang/huma) tak hanya didominasi oleh para rerayo (orang tua) saja. Bujang-bujang Orang Rimba pun banyak yang memiliki ladang. Ironisnya, meski mempunyai kesadaran akan pentingnya sebidang lahan, banyak di antara Orang Rimba yang menjual ladangnya itu kepada orang desa (orang luar). Beralihnya kepemilikan lahan itu menjadi wacana dan persoalan tersendiri di komunitas Orang Rimba. Banyak sebab kenapa Orang Rimba menjual ladangnya itu.

Salah satu pemicunya adalah keinginan untuk mempunyai motor. Kebutuhan akan alat transportasi ini menjadikan mobilitas Orang Rimba untuk berhubungan dengan orang luar semakin cepat dan mudah. Seperti menjual hasil karet, menjual cabe, menjual binatang hasil buruan, dan bahkan berbelanja kebutuhan pokok (sembako) akan menjadi efektif. Desa terdekat yang biasa dikunjungi oleh Orang Rimba adalah permukiman transmigrasi (SP-G), yang bila ditempuh dengan berjalan kaki bisa sekitar 3 jam (meski Orang Rimba tak mengenal konsep waktu konvensional). Namun dengan adanya motor, jarak tempuh itu jadi tak masalah. Hanya lebih kurang 1 jam saja sudah sampai ke desa terdekat itu.

Di samping itu, mudahnya akses jalan untuk keluar-masuk kawasan hidup Orang Rimba, menjadi peluang bagi orang desa (luar) untuk berhubungan langsung dengan Orang Rimba. Mereka sengaja datang untuk menawar ladang milik Orang Rimba. Rupanya, tawar-menawar soal harga jual ladang/huma itu sudah menjadi hal yang biasa. Bagi Orang Rimba, keinginan untuk mempunyai motor mungkin sudah menjadi kebutuhannya. Namun yang jelas, haruskah untuk memenuhi kebutuhannya itu menjadikan lahan Orang Rimba hilang?
---***---
Bangko-Jambi, Agustus 2008

Anak-anak Krueng Lambeusoi

“Bang Aday, foto kami satu...” teriak Maulid dkk, memintaku untuk segera mensoting (memfoto) mereka ketika sedang mandi-mandi di sungai. Maulid dan anak-anak lainnya di kampung Ujong Muloh ini adalah murid-murid kami, Sokola Aceh.

Sejak berumur 5 tahunan, mereka sudah terbiasa mandi-mandi di krueng Lambeusoi ini. Karenanya, tak mengherankan anak-anak ini begitu pandai berenang dan berani melakukan lompatan salto – yang kadang-kadang juga dilakukan dari atas boat yang tengah bersandar.

Akmal, yang sedang asik berenang-renang di sungai itu, tiba-tiba diserbu oleh kawan-kawannya. Rupanya, yang lain jeli melihatnya membawa sampo. Segera saja sampo milik Akmal itu jadi bahan rebutan. Sampo dalam botol besar itu pun kini sisa setengahnya. Sepertinya mereka tak cukup sekali berkeramas. Bagi yang berambut agak panjang, mereka suka sekali membentuk rambutnya itu dengan model punk. Namun, begitu kepalanya ditenggelamkan ke dalam air, model punk-nya itu pun langsung telungkup. Lagi-lagi, mereka segera menyampo rambutnya agar bisa dibentuk model yang sama.

Rutinitas itu biasa mereka lakukan usai belajar bersama kami. Setelah puas mandi-mandi di sungai itu, anak-anak ini langsung menghampiriku. Mereka ingin melihat foto-foto digital yang tadi kujepret. “Lagak that!” katanya.
---***---

14 Juni 2008

Meunasah

Meunasah adalah sebutan bagi mushalla dalam bahasa Aceh. Sebenarnya, bila kita lihat dari segi ukurannya, meunasah mempunyai ukuran bangunan agak besar daripada mushalla pada umumnya. Namun, tidak lebih besar dari mesjid.

Keberadaan meunasah menandakan sebuah ‘pusat’ kebudayaan telah dibentuk dalam suatu komunitas. Karena meunasah di beberapa kampung di Aceh, tak hanya dipergunakan untuk kepentingan keagamaan saja (tempat ibadah). Meunasah bisa juga dipakai sebagai tempat berkumpul, musyawarah bagi warga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kampung. Atau pada kasus tertentu seperti di beberapa kampung yang terkena bencana tsunami, meunasah sering juga dijadikan tempat/lokasi untuk membagikan bantuan logistik – sumbangan dari beberapa lembaga atau NGO untuk korban tsunami.

Begitu pentingnya keberadaan meunasah. Sehingga pembangunan meunasah itu terkadang menjadi prioritas pertama daripada fasilitas-fasilitas umum lainnya (seperti kantor desa, kantor pemuda, sekolahan, atau bahkan rumah tempat tinggal), sebagaimana yang terjadi di kampung Ujong Muloh ini.

Seperti halnya mesjid, meunasah juga memiliki kepengurusan sendiri dan dipimpin oleh seorang imeum meunasah. Imeum meunasah adalah seseorang yang dipilih atau ditunjuk untuk memimpin serta mempunyai tanggung jawab khususnya terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan di meunasah.

Sebagai pusat kebudayaan (dan juga keagamaan), meunasah mempunyai ‘posisi’ tersendiri dalam suatu komunitas. Di sini, karena hampir semua kegiatan kampung dipusatkan di meunasah, orang-orang cenderung normatif. Mereka yang jarang atau sama sekali tak pernah terlibat pada kegiatan-kegiatan di meunasah (entah itu kegiatan umum seperti musyawarah atau syukuran kampung, dan kegiatan keagamaan lainnya), cenderung dinilai kurang positif dan bahkan kurang dihargai.

Seorang warga pernah mengatakan, “Meski seseorang itu mempunyai pendidikan tinggi atau seorang PNS sekalipun, tapi kalau dia itu tak pernah pergi ke meunasah, maka apapun perkataannya tak akan didengar oleh orang lain.” Rupanya, pendidikan dan status yang disandang oleh seseorang di kampung ini tak begitu berpengaruh. Yang jelas, seseorang akan dipandang dan relatif dihargai bilamana ia sering terlihat ke meunasah terutama aktif pada kegiatan-kegiatan keagamaan.
---***---

15 Mei 2008

Penipuan Gaya Baru, Siapa Peduli?

Pernahkah di antara pembaca yang budiman memberikan uang sumbangan kepada orang-orang yang suka membawa kotak sumbangan amal, entah itu berupa sumbangan untuk pembangunan mesjid atau pesantren, maupun kotak sumbangan untuk kegiatan sosial lainnya?

Di kota Bandung, mungkin di antara kita pernah menjumpai orang-orang yang suka membawa kotak amal dan berpakaian agak meyakinkan: mengenakan baju koko dan berkopiah, dan biasanya ‘beroperasi’ di bis-bis kota maupun angkot. Kadang-kadang juga mereka suka berkhotbah sedikit, mungkin dengan harapan orang-orang di sekitarnya akan merasa tersentuh untuk segera memasukkan uang sumbangan ke dalam kotak amal yang dibawanya.

Dan percayakah bahwa uang sumbangan yang kita berikan itu akan dipergunakan dengan baik sebagaimana tulisan yang tertera pada kotak amal tersebut: “Sumbangan untuk pembangunan mesjid dan pesantren” atau “Sumbangan untuk yatim-piatu?”

Beberapa tahun kebelakang, saya sering jalan-jalan menelusuri sudut-sudut kota Bandung. Suatu hari saya berkunjung ke kawasan Tegal Lega – yang saat itu menjadi tempat penampungan sementara bagi pedagang pakaian bekas (Cimol, ala Tegal Lega). Ya biasalah kalau lagi ada duit, hunting kaos atau jaket bekas merk terkenal.

Udara cukup panas saat itu. Selain karena keadaan kios yang saling berdekatan, ramainya orang yang berbelanja hingga berdesakan semakin membuat kondisi tak nyaman. Tubuh berkeringat dan kerongkongan terasa kering. Saya pun pergi mencari tukang jualan teh botol. Warung kecil itu terletak di pojokan dekat WC umum. Tak apalah, meski lingkungannya kumuh dan menyebarkan bau tak sedap dari arah WC umum itu, saya menyempatkan duduk sebentar sambil menyeruput teh botol. Pandangan saya tertuju pada dua orang yang masing-masing menenteng satu kotak amal. Saya terus memperhatikannya. Mereka berdua berpakaian seperti yang diterangkan di atas.

Sungguh kelihatan aneh gelagat mereka berdua itu. Saya jadi curiga dan merasa ingin tahu lebih lanjut tentang perilaku mereka. Astaga, mereka dengan cuek-nya membuka kunci gembok kotak amal itu! Seorang dari mereka melirik ke arah saya. Aduh, kok saya merasa ketakutan begini. Sejenak saya berpaling ke arah lain. Tapi saya jadi penasaran dibuatnya. Saya pun pergi beranjak. Dengan berpura-pura meminjam korek pada seorang pedagang pakaian – membuat jarak agak dekat dengan kedua orang itu. Kini makin jelas perbuatan mereka. Dengan kunci yang mereka punya, gembok pun terbuka dengan mulusnya. Beberapa lembar uang kertas ribuan dan recehan uang logam itu sekarang terhampar pada sebuah meja. Salah seorang dari mereka lantas menghitungnya dan membagi uang itu dengan temannya. Kotak amal bertuliskan: “Sumbangan untuk pembangunan mesjid” itu mereka tutup dan menguncinya kembali.

Sepulangnya dari kawasan Tegal Lega itu, saya pun menceritakan kejadian tersebut pada kawan-kawan saya. “Wah, itu mah penipuan gaya baru,” komentar kawan saya. Penipuan gaya barukah?
---***----


14 Mei 2008

Pengalaman di-Sweeping TNI

"Gara-gara pulang terlalu malam, hampir saja kami jadi tawanan perang di daerah konflik."

Malam itu adalah malam Rabu (26 April 2005), kami berempat hendak pulang ke Banda Aceh dengan mobil labi-labi* yang kami sewa untuk assessment ke wilayah Lamno. Selesai makan di salah satu rumah makan di pasar Lamno, Bang Zulfar sopir kami bertanya, “Gimana apa kita terus pulang ke Banda Aceh?” Dan langsung saya timpali, “Terserah Abang lah. Kan Abang yang bawa mobil. Kalau tugas kami sementara ini cukup. Nanti lain hari saja kembali ke sini.” Kami pun berkemas.

Membeli senter
Kota Lamno petang itu diguyur hujan. Di kota ini, hari mulai gelap adalah pukul 19.00 waktu setempat. Bang Zulfar dan kedua kernetnya, Muklis dan Muksin berbincang dalam Bahasa Aceh. Rupanya, mereka mengkhawatirkan kondisi mobilnya yang tidak ada lampu penerangnya di bagian dalam penumpang. “Benar nih kita mau pulang sekarang ke Banda Aceh? Apa gak sebaiknya kita menginap saja di sini?” kembali Bang Zulfar menanyakan kepada kami soal kepastian pulang. “Iya Bang, pulang sekarang aja. Soalnya tanggung kalau harus menginap.” Bang Zulfar kembali berbicara kepada kawannya itu dan menyuruhnya untuk membeli senter. “Tunggu sebentar ya, kita harus beli senter dulu.” Sebelum Bang Zulfar memarkir labi-labinya, Muklis dan Muksin sibuk memasang senter di dalam kendaraan itu. Senter pun diikatnya pada sebuah pipa besi yang menjulur membelah langit-langit mobil**. Kami pun naik dan Bang Zulfar mulai men-starter labi-labinya. Kira-kira pukul 19.30 Kota Lamno yang banyak dihuni penduduk berketurunan Portugis ini, mulai kami tinggalkan.

Hanya gelap malam yang kami tengok lewat jendela labi-labi. Selama di perjalanan kami mengobrol dengan Muklis dan Muksin. Mereka masih muda dan bersaudara. Obrolan yang akrab sambil menghabiskan beberapa batang rokok, menceritakan soal konflik yang terjadi di Aceh. Sebuah tema yang begitu sensitif. Di antara mereka, hanya Muklis yang banyak bercerita. Sementara Muksin hanya ketawa saja. “Sebelum tsunami dulu, Bang, kita mana bisa jalan-jalan malam seperti ini. Cari mati itu namanya.” Selain mengobrol kesana-kemari, mereka juga mengajarkan kami berbahasa Aceh. Tapi yang mereka ajarkan adalah bahasa yang jorok-jorok. Seperti bagaimana menggoda wanita atau cara merayunya. Ah biarlah, yang penting suasana di dalam labi-labi itu jadi cair dengan cerita-cerita mereka yang lucu.

Memasuki daerah Lhoong, kami pun terdiam. Daerah ini sepi. Hanya deburan ombak terdengar menerjang daratan. “Ini musim Barat, Bang. Ombaknya sedang besar.” Kembali Muklis memecah kebekuan. “Sebelum tsunami, daerah ini padat penduduknya. Seperti yang Abang lihat tadi siang, tidak ada satu rumah pun yang tinggal. Semuanya habis diambil tsunami, Bang.”

Memasuki daerah Lhok Nga
Bang Zulfar begitu kencang membawa labi-labinya. Tak terasa perjalanan pun memasuki daerah Lhok Nga. Daerah ini dikenal dengan pantai wisatanya yang indah. Dulu, banyak kedai-kedai didirikan di pinggir pantai. Konon, kedai-kedai pantai di daerah ini ramai dikunjungi karena dijadikan tempat favorit bagi pasangan muda-mudi yang berpacaran. Selain itu juga di daerah ini terdapat pabrik semen – yang juga rusak berat diterjang tsunami.

Jalanan aspal yang masih tersisa dimanfaatkan Bang Zulfar untuk lebih memacu labi-labinya. Di depan ada kapal melintang. Kapal itu adalah salah satu kapal barang milik PT. SAI yang terdampar menutupi jalur jalan akibat terseret gelombang tsunami. Bang Zulfar dengan lincahnya membelokan labi-labi ke kanan. Ini jalan baru yang dibuat untuk menghindari kapal yang melintang. Rupanya, Bang Zulfar tidak menyadari kalau mobilnya terus melaju lurus memasuki jalanan berbatu coral. Seharusnya setelah menghindari kapal yang melintang, labi-labi belok ke kiri memasuki jalanan aspal lagi ke arah Banda Aceh. Di dalam labi-labi, saya bertanya kepada Muklis dan Muksin. “Ini daerah mana? Kok sebelah kiri-kanan hutan? Harusnya kan sebelah kiri kita itu laut.” Kami pun mulai mengamati suasana dari jendela labi-labi. Muklis dan Muksin menggelengkan kepala. Muklis berinisiatif mengetuk jendela kaca labi-labi di belakang sopir – mengingatkan Bang Zulfar bahwa jalan yang dilaluinya salah. Namun, Bang Zulfar malah makin menambah kecepatan labi-labinya.

Salah jalan
“Woii... Berhenti!” Tiba-tiba saja ada teriakan menyuruh labi-labi yang kami tumpangi berhenti. Bang Zulfar mengerem kendaraannya. Di luar, nampak puluhan cahaya senter menghampiri kami. Begitu cepatnya! Bersamaan dengan itu, labi-labi berhenti. Labi-labi kami dikepung oleh serombongan orang-orang. Salah seorang dari mereka mengetuk pintu belakang dan menyuruh kami keluar. Kami juga mendengar bunyi kokangan senjata. Kami pun keluar dengan perasaan panik. Sambil jalan jongkok dengan tangan di atas kepala, kami digiring ke depan mobil. Lantas, disuruh berjongkok. Mata saya silau karena disorot lampu mobil dan senter yang mengena ke wajah saya. Kami makin panik dan ketakutan. Betapa tidak, todongan senjata laras panjang ditujukan ke kening kami masing-masing. Sambil menenangkan perasaan, saya memberanikan diri menatap orang yang menodong saya. Hati saya ciut. Di depan saya adalah orang dengan pakaian tentara lengkap. Setelan perang. Memakai helm warna hijau. Sementara teman-teman saya ada yang ditodong oleh orang berpakaian seadanya. Berkaos dan bercelana pendek.

KTP diperiksa
Hati saya mulai tenang saat saya melihat tali bendera berwarna merah putih yang diikatkan pada laras senjata. “Oh... ternyata TNI.” Bisik saya dalam hati. Kami dihujani pertanyaan macam-macam. Mereka menginterogasi. Ada yang membentak sembari memelototi. Saya kebingungan. Harus menjawab pertanyaan yang mana. Pasalnya, tiap satu orang dari kami, dikerubuti oleh sekitar enam orang – yang masing-masing dari mereka melemparkan pertanyaan yang harus saya jawab. Ada yang mengancam akan memberondong karena kami dikira musuh. Ada satu orang di antara mereka yang meminta identitas kami. Mereka tidak percaya dengan pengakuan kami sebagai relawan. Terus terang saja, kami datang ke Aceh tidak seperti relawan kebanyakan yang pada umumnya menggantungkan name tag – identitas sebagai relawan kemanusiaan. “Masa relawan seperti ini?! Mana surat tugas dan KTP kalian!” Kami pun memperlihatkan seperti apa yang mereka suruh. Sungguh detil pemeriksaan itu. Sampai-sampai alamat yang tertera dalam KTP saya pun tak luput dari perhatiannya. Di KTP saya tertulis Kec. Katapang. “Nah, ini ada orang Katapang rupanya! Kamu GAM ya?!”*** Tanya orang itu. “Bukan, Pak. Itu Katapang – Bandung.” Jelas saya.

Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin
Ketiga orang ini dipisahkan dari kami. Kami menghawatirkan keadaan Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin. Salah seorang tentara lain menanyakan kepada kami. “Siapa mereka bertiga ini?” “Oh abang-abang ini adalah sopir kami, Pak.” Dan saya juga mendengar Bang Zulfar, dkk. diinterogasi dengan pertanyaan macam-macam juga. Bahkan berkesan melecehkan. Seorang tentara menghampiri kami, “Hei... kalian percaya dengan sopir kalian itu?” Dan kami meyakinkan para tentara itu dengan menjawab, “Betul, Pak, mereka itu adalah sopir kami yang sudah kami kenal sejak lama.” Di antara para tentara yang menginterogasi kami, ada yang mengatakan, “Sudah-sudah sekarang biar para relawan ini saja yang disuruh pulang jalan kaki. Sopirnya biar ditinggal saja di sini.” Saya sempat menatap Bang Zulfar, dkk. Saya makin khawatir dengan keadaannya.

Satu setengah jam
Malam itu kira-kira pukul 23.30. Kurang lebih satu setengah jam lamanya kami diinterogasi. Seorang tentara berkaos dan bercelana pendek menghampiri saya. Saya mengira dia adalah komandannya. Dia menggiring dan membawa saya ke tempat gelap. Saya menyadari bahwa teman-teman saya yang lain sudah tidak ada di dekat saya. Keberadaan teman-teman saya tidak saya ketahui. Mungkin digiring juga ke suatu lokasi lain. Hati saya pasrah saja. Mau gimana lagi? Saya mengikuti langkah tentara tadi. Selang beberapa meter dari tempat semula, orang itu menyuruh saya mengeluarkan hand phone. Wah, mau diapain lagi nih. “Coba sekarang kamu hubungi bos kamu yang ada di Jakarta itu. Di sekitar sini ada sinyal HP.” Saya disuruh mengontak Jakarta. Nomor yang saya hubungi aktif. Begitu tersambung, HP saya pun direbutnya. “Hallo, betul di Aceh ada stafnya yang bertugas sebagai relawan?” Setelah mendapat penjelasan dari suara HP di seberang sana, tentara yang menggiring saya pun mengajak kembali ke tempat kami diinterogasi semula. Teman-teman saya sudah menunggu di depan labi-labi. Begitu juga Bang Zulfar, dkk. Orang-orang yang menginterogasi kami akhirnya menyuruh kami cepat-cepat pulang ke Banda Aceh. Sial, semua perbekalan makanan termasuk rokok yang disimpan di jok labi-labi hilang. Tak apalah, yang penting kami selamat.
---***---
* Labi-labi adalah sejenis kendaraan transportasi umum di kota Banda Aceh. Bedanya dengan angkot-seperti di kota-kota di Jawa, letak pintu labi-labi penumpang berada di belakang. Dan tentu saja antara penumpang yang berada di belakang dengan sang sopir dibatasi oleh kaca – umumnya labi-labi di kota ini dilapisi oleh kaca film hitam yang tebal.

** Karena lampu bagian dalam labi-labi yang kami tumpangi tidak berfungsi, maka dipasangi lampu senter. Menyalakan lampu mobil bagian dalam adalah sebuah aturan - yang jika tidak ditaati bisa fatal. Seperti dikatakan Bang Zulfar, "jika tidak menyalakan lampu mobil bagian dalam, salah-salah kita dikira pasukan GAM."

*** Mereka curiga dengan nama daerah Katapang. Karena di sekitar Banda Aceh ada daerah yang mirip dengan alamat yang ada pada KTP saya.
Bandung, Mei 2007