14 Mei 2008

Pengalaman di-Sweeping TNI

"Gara-gara pulang terlalu malam, hampir saja kami jadi tawanan perang di daerah konflik."

Malam itu adalah malam Rabu (26 April 2005), kami berempat hendak pulang ke Banda Aceh dengan mobil labi-labi* yang kami sewa untuk assessment ke wilayah Lamno. Selesai makan di salah satu rumah makan di pasar Lamno, Bang Zulfar sopir kami bertanya, “Gimana apa kita terus pulang ke Banda Aceh?” Dan langsung saya timpali, “Terserah Abang lah. Kan Abang yang bawa mobil. Kalau tugas kami sementara ini cukup. Nanti lain hari saja kembali ke sini.” Kami pun berkemas.

Membeli senter
Kota Lamno petang itu diguyur hujan. Di kota ini, hari mulai gelap adalah pukul 19.00 waktu setempat. Bang Zulfar dan kedua kernetnya, Muklis dan Muksin berbincang dalam Bahasa Aceh. Rupanya, mereka mengkhawatirkan kondisi mobilnya yang tidak ada lampu penerangnya di bagian dalam penumpang. “Benar nih kita mau pulang sekarang ke Banda Aceh? Apa gak sebaiknya kita menginap saja di sini?” kembali Bang Zulfar menanyakan kepada kami soal kepastian pulang. “Iya Bang, pulang sekarang aja. Soalnya tanggung kalau harus menginap.” Bang Zulfar kembali berbicara kepada kawannya itu dan menyuruhnya untuk membeli senter. “Tunggu sebentar ya, kita harus beli senter dulu.” Sebelum Bang Zulfar memarkir labi-labinya, Muklis dan Muksin sibuk memasang senter di dalam kendaraan itu. Senter pun diikatnya pada sebuah pipa besi yang menjulur membelah langit-langit mobil**. Kami pun naik dan Bang Zulfar mulai men-starter labi-labinya. Kira-kira pukul 19.30 Kota Lamno yang banyak dihuni penduduk berketurunan Portugis ini, mulai kami tinggalkan.

Hanya gelap malam yang kami tengok lewat jendela labi-labi. Selama di perjalanan kami mengobrol dengan Muklis dan Muksin. Mereka masih muda dan bersaudara. Obrolan yang akrab sambil menghabiskan beberapa batang rokok, menceritakan soal konflik yang terjadi di Aceh. Sebuah tema yang begitu sensitif. Di antara mereka, hanya Muklis yang banyak bercerita. Sementara Muksin hanya ketawa saja. “Sebelum tsunami dulu, Bang, kita mana bisa jalan-jalan malam seperti ini. Cari mati itu namanya.” Selain mengobrol kesana-kemari, mereka juga mengajarkan kami berbahasa Aceh. Tapi yang mereka ajarkan adalah bahasa yang jorok-jorok. Seperti bagaimana menggoda wanita atau cara merayunya. Ah biarlah, yang penting suasana di dalam labi-labi itu jadi cair dengan cerita-cerita mereka yang lucu.

Memasuki daerah Lhoong, kami pun terdiam. Daerah ini sepi. Hanya deburan ombak terdengar menerjang daratan. “Ini musim Barat, Bang. Ombaknya sedang besar.” Kembali Muklis memecah kebekuan. “Sebelum tsunami, daerah ini padat penduduknya. Seperti yang Abang lihat tadi siang, tidak ada satu rumah pun yang tinggal. Semuanya habis diambil tsunami, Bang.”

Memasuki daerah Lhok Nga
Bang Zulfar begitu kencang membawa labi-labinya. Tak terasa perjalanan pun memasuki daerah Lhok Nga. Daerah ini dikenal dengan pantai wisatanya yang indah. Dulu, banyak kedai-kedai didirikan di pinggir pantai. Konon, kedai-kedai pantai di daerah ini ramai dikunjungi karena dijadikan tempat favorit bagi pasangan muda-mudi yang berpacaran. Selain itu juga di daerah ini terdapat pabrik semen – yang juga rusak berat diterjang tsunami.

Jalanan aspal yang masih tersisa dimanfaatkan Bang Zulfar untuk lebih memacu labi-labinya. Di depan ada kapal melintang. Kapal itu adalah salah satu kapal barang milik PT. SAI yang terdampar menutupi jalur jalan akibat terseret gelombang tsunami. Bang Zulfar dengan lincahnya membelokan labi-labi ke kanan. Ini jalan baru yang dibuat untuk menghindari kapal yang melintang. Rupanya, Bang Zulfar tidak menyadari kalau mobilnya terus melaju lurus memasuki jalanan berbatu coral. Seharusnya setelah menghindari kapal yang melintang, labi-labi belok ke kiri memasuki jalanan aspal lagi ke arah Banda Aceh. Di dalam labi-labi, saya bertanya kepada Muklis dan Muksin. “Ini daerah mana? Kok sebelah kiri-kanan hutan? Harusnya kan sebelah kiri kita itu laut.” Kami pun mulai mengamati suasana dari jendela labi-labi. Muklis dan Muksin menggelengkan kepala. Muklis berinisiatif mengetuk jendela kaca labi-labi di belakang sopir – mengingatkan Bang Zulfar bahwa jalan yang dilaluinya salah. Namun, Bang Zulfar malah makin menambah kecepatan labi-labinya.

Salah jalan
“Woii... Berhenti!” Tiba-tiba saja ada teriakan menyuruh labi-labi yang kami tumpangi berhenti. Bang Zulfar mengerem kendaraannya. Di luar, nampak puluhan cahaya senter menghampiri kami. Begitu cepatnya! Bersamaan dengan itu, labi-labi berhenti. Labi-labi kami dikepung oleh serombongan orang-orang. Salah seorang dari mereka mengetuk pintu belakang dan menyuruh kami keluar. Kami juga mendengar bunyi kokangan senjata. Kami pun keluar dengan perasaan panik. Sambil jalan jongkok dengan tangan di atas kepala, kami digiring ke depan mobil. Lantas, disuruh berjongkok. Mata saya silau karena disorot lampu mobil dan senter yang mengena ke wajah saya. Kami makin panik dan ketakutan. Betapa tidak, todongan senjata laras panjang ditujukan ke kening kami masing-masing. Sambil menenangkan perasaan, saya memberanikan diri menatap orang yang menodong saya. Hati saya ciut. Di depan saya adalah orang dengan pakaian tentara lengkap. Setelan perang. Memakai helm warna hijau. Sementara teman-teman saya ada yang ditodong oleh orang berpakaian seadanya. Berkaos dan bercelana pendek.

KTP diperiksa
Hati saya mulai tenang saat saya melihat tali bendera berwarna merah putih yang diikatkan pada laras senjata. “Oh... ternyata TNI.” Bisik saya dalam hati. Kami dihujani pertanyaan macam-macam. Mereka menginterogasi. Ada yang membentak sembari memelototi. Saya kebingungan. Harus menjawab pertanyaan yang mana. Pasalnya, tiap satu orang dari kami, dikerubuti oleh sekitar enam orang – yang masing-masing dari mereka melemparkan pertanyaan yang harus saya jawab. Ada yang mengancam akan memberondong karena kami dikira musuh. Ada satu orang di antara mereka yang meminta identitas kami. Mereka tidak percaya dengan pengakuan kami sebagai relawan. Terus terang saja, kami datang ke Aceh tidak seperti relawan kebanyakan yang pada umumnya menggantungkan name tag – identitas sebagai relawan kemanusiaan. “Masa relawan seperti ini?! Mana surat tugas dan KTP kalian!” Kami pun memperlihatkan seperti apa yang mereka suruh. Sungguh detil pemeriksaan itu. Sampai-sampai alamat yang tertera dalam KTP saya pun tak luput dari perhatiannya. Di KTP saya tertulis Kec. Katapang. “Nah, ini ada orang Katapang rupanya! Kamu GAM ya?!”*** Tanya orang itu. “Bukan, Pak. Itu Katapang – Bandung.” Jelas saya.

Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin
Ketiga orang ini dipisahkan dari kami. Kami menghawatirkan keadaan Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin. Salah seorang tentara lain menanyakan kepada kami. “Siapa mereka bertiga ini?” “Oh abang-abang ini adalah sopir kami, Pak.” Dan saya juga mendengar Bang Zulfar, dkk. diinterogasi dengan pertanyaan macam-macam juga. Bahkan berkesan melecehkan. Seorang tentara menghampiri kami, “Hei... kalian percaya dengan sopir kalian itu?” Dan kami meyakinkan para tentara itu dengan menjawab, “Betul, Pak, mereka itu adalah sopir kami yang sudah kami kenal sejak lama.” Di antara para tentara yang menginterogasi kami, ada yang mengatakan, “Sudah-sudah sekarang biar para relawan ini saja yang disuruh pulang jalan kaki. Sopirnya biar ditinggal saja di sini.” Saya sempat menatap Bang Zulfar, dkk. Saya makin khawatir dengan keadaannya.

Satu setengah jam
Malam itu kira-kira pukul 23.30. Kurang lebih satu setengah jam lamanya kami diinterogasi. Seorang tentara berkaos dan bercelana pendek menghampiri saya. Saya mengira dia adalah komandannya. Dia menggiring dan membawa saya ke tempat gelap. Saya menyadari bahwa teman-teman saya yang lain sudah tidak ada di dekat saya. Keberadaan teman-teman saya tidak saya ketahui. Mungkin digiring juga ke suatu lokasi lain. Hati saya pasrah saja. Mau gimana lagi? Saya mengikuti langkah tentara tadi. Selang beberapa meter dari tempat semula, orang itu menyuruh saya mengeluarkan hand phone. Wah, mau diapain lagi nih. “Coba sekarang kamu hubungi bos kamu yang ada di Jakarta itu. Di sekitar sini ada sinyal HP.” Saya disuruh mengontak Jakarta. Nomor yang saya hubungi aktif. Begitu tersambung, HP saya pun direbutnya. “Hallo, betul di Aceh ada stafnya yang bertugas sebagai relawan?” Setelah mendapat penjelasan dari suara HP di seberang sana, tentara yang menggiring saya pun mengajak kembali ke tempat kami diinterogasi semula. Teman-teman saya sudah menunggu di depan labi-labi. Begitu juga Bang Zulfar, dkk. Orang-orang yang menginterogasi kami akhirnya menyuruh kami cepat-cepat pulang ke Banda Aceh. Sial, semua perbekalan makanan termasuk rokok yang disimpan di jok labi-labi hilang. Tak apalah, yang penting kami selamat.
---***---
* Labi-labi adalah sejenis kendaraan transportasi umum di kota Banda Aceh. Bedanya dengan angkot-seperti di kota-kota di Jawa, letak pintu labi-labi penumpang berada di belakang. Dan tentu saja antara penumpang yang berada di belakang dengan sang sopir dibatasi oleh kaca – umumnya labi-labi di kota ini dilapisi oleh kaca film hitam yang tebal.

** Karena lampu bagian dalam labi-labi yang kami tumpangi tidak berfungsi, maka dipasangi lampu senter. Menyalakan lampu mobil bagian dalam adalah sebuah aturan - yang jika tidak ditaati bisa fatal. Seperti dikatakan Bang Zulfar, "jika tidak menyalakan lampu mobil bagian dalam, salah-salah kita dikira pasukan GAM."

*** Mereka curiga dengan nama daerah Katapang. Karena di sekitar Banda Aceh ada daerah yang mirip dengan alamat yang ada pada KTP saya.
Bandung, Mei 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar