27 Agustus 2008

Membuka Lahan, (... Lalu Menanam Motor)

Suatu hari, saya diajak oleh seorang bepak (bapak) yang akan membakar ladang/huma yang sudah dibiarkannya selama 3 bulan itu. Lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami di wilayah Makekal Hulu TNBD. Beberapa anak juga turut serta untuk membantu menyulutkan api pada ranting-ranting dan dahan pohon tebangan yang sudah mengering itu. Lima batang buluh yang telah diberi sumbu berisi minyak tanah segera mereka sulut. Mereka mulai berpencar ke berbagai sudut lahan dan tak lama kemudian kobaran api segera menyambar-nyambar dedaunan dan ranting-ranting kering itu. Menjadikan langit gelap seketika.

Lahan ini rencananya akan ditanami pohon karet (para). Menurut Bepak Muncang, si pemilik lahan, untuk membuka lahan baru ini membutuhkan biaya sebesar 3 juta. Biaya itu antara lain untuk ongkos tebang menggunakan mesin sainsaw – yang biasa dikerjakan oleh orang desa. Bepak Muncang sengaja membiarkan kayu-kayu tebangan itu untuk dibakar saja, karena untuk memanfaatkan (membelah) kayu hasil tebangan itu juga membutuhkan biaya yang tinggi, bisa mencapai 1 juta rupiah per meter kubiknya.

Sebagian besar ladang-ladang di wilayah Makekal Hulu ini umumnya ditanami pohon karet. Tiap ladang mempunyai tegakan pohon karet yang berbeda-beda umur tanamnya. Dan pohon karet yang sudah bisa dipotong (disadap getahnya) biasanya yang sudah mencapai umur 8 tahun. Sepertinya, pohon karet ini menjadi komoditas favorit bagi sebagian besar komunitas Orang Rimba yang mendiami wilayah Makekal Hulu. Pada dasarnya, Orang Rimba bermatapencaharian sebagai petani (ladang/huma). Karenanya, kebutuhan untuk membuka dan memiliki lahan dirasa cukup tinggi. Di sini, faktor kepemilikan lahan menjadi penting.

Kepemilikan lahan (ladang/huma) tak hanya didominasi oleh para rerayo (orang tua) saja. Bujang-bujang Orang Rimba pun banyak yang memiliki ladang. Ironisnya, meski mempunyai kesadaran akan pentingnya sebidang lahan, banyak di antara Orang Rimba yang menjual ladangnya itu kepada orang desa (orang luar). Beralihnya kepemilikan lahan itu menjadi wacana dan persoalan tersendiri di komunitas Orang Rimba. Banyak sebab kenapa Orang Rimba menjual ladangnya itu.

Salah satu pemicunya adalah keinginan untuk mempunyai motor. Kebutuhan akan alat transportasi ini menjadikan mobilitas Orang Rimba untuk berhubungan dengan orang luar semakin cepat dan mudah. Seperti menjual hasil karet, menjual cabe, menjual binatang hasil buruan, dan bahkan berbelanja kebutuhan pokok (sembako) akan menjadi efektif. Desa terdekat yang biasa dikunjungi oleh Orang Rimba adalah permukiman transmigrasi (SP-G), yang bila ditempuh dengan berjalan kaki bisa sekitar 3 jam (meski Orang Rimba tak mengenal konsep waktu konvensional). Namun dengan adanya motor, jarak tempuh itu jadi tak masalah. Hanya lebih kurang 1 jam saja sudah sampai ke desa terdekat itu.

Di samping itu, mudahnya akses jalan untuk keluar-masuk kawasan hidup Orang Rimba, menjadi peluang bagi orang desa (luar) untuk berhubungan langsung dengan Orang Rimba. Mereka sengaja datang untuk menawar ladang milik Orang Rimba. Rupanya, tawar-menawar soal harga jual ladang/huma itu sudah menjadi hal yang biasa. Bagi Orang Rimba, keinginan untuk mempunyai motor mungkin sudah menjadi kebutuhannya. Namun yang jelas, haruskah untuk memenuhi kebutuhannya itu menjadikan lahan Orang Rimba hilang?
---***---
Bangko-Jambi, Agustus 2008

Anak-anak Krueng Lambeusoi

“Bang Aday, foto kami satu...” teriak Maulid dkk, memintaku untuk segera mensoting (memfoto) mereka ketika sedang mandi-mandi di sungai. Maulid dan anak-anak lainnya di kampung Ujong Muloh ini adalah murid-murid kami, Sokola Aceh.

Sejak berumur 5 tahunan, mereka sudah terbiasa mandi-mandi di krueng Lambeusoi ini. Karenanya, tak mengherankan anak-anak ini begitu pandai berenang dan berani melakukan lompatan salto – yang kadang-kadang juga dilakukan dari atas boat yang tengah bersandar.

Akmal, yang sedang asik berenang-renang di sungai itu, tiba-tiba diserbu oleh kawan-kawannya. Rupanya, yang lain jeli melihatnya membawa sampo. Segera saja sampo milik Akmal itu jadi bahan rebutan. Sampo dalam botol besar itu pun kini sisa setengahnya. Sepertinya mereka tak cukup sekali berkeramas. Bagi yang berambut agak panjang, mereka suka sekali membentuk rambutnya itu dengan model punk. Namun, begitu kepalanya ditenggelamkan ke dalam air, model punk-nya itu pun langsung telungkup. Lagi-lagi, mereka segera menyampo rambutnya agar bisa dibentuk model yang sama.

Rutinitas itu biasa mereka lakukan usai belajar bersama kami. Setelah puas mandi-mandi di sungai itu, anak-anak ini langsung menghampiriku. Mereka ingin melihat foto-foto digital yang tadi kujepret. “Lagak that!” katanya.
---***---