12 November 2010

Mengajar di Lokasi Bivak Batu Bata


Pada hari Selasa, tanggal 14 September 2010, saya mengunjungi lokasi bivak pembuatan batu bata yang berada di dalam site perusahaan. Tujuan saya tak lain adalah mencari peserta didik (murid), terutama anak-anak dan usia remaja, yang belum bisa atau belum lancar membaca dan menulis. Dan yang penting mau belajar bersama saya.

Di lokasi ini terdapat 4 bivak yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari kampung sekitar site perusahaan: Buepe, Kaniskobar, dan Kwensip. Mereka bekerja sebagai pembuat batu bata secara borongan. Batu bata itu dibuat dari tanah. Setelah dicetak, lantas dijemur dan disisik, dan selanjutnya dibakar di pengapian. Para keluarga tadi mendapat pemasukan dari jerih payahnya berdasarkan kesepakatan harga dengan salah satu departemen – yang secara langsung mengkoordinir dan turut mengawasi pembuatan batu bata di lokasi ini.

Mereka yang terlibat dalam proses pembuatan batu bata tak hanya para orang tua. Beberapa remaja – yang saya taksir berusia empat belasan tahun itu, juga ikut membantu orang tuanya. Mereka terlihat sibuk mendorong gerobak berisi tanah merah untuk kemudian dicetak menjadi batu bata dalam ukuran tertentu.

Di tempat ini, saya juga berbincang-bincang dengan Pak Isak Balagaize. Pria berpostur tinggi dan berusia paling tua, namun tampak gagah ini, adalah satu di antara penghuni bivak lainnya yang menaruh harapan besar terhadap anak dan cucu-cucunya untuk bisa bersekolah hingga jenjang yang paling tinggi.

“Bapak mau anak-anak di sini bisa sekolah seperti di tempat lain,” katanya, “sekolah bukan hanya keinginan anak-anak saja. Tapi orang tuanya juga harus ikut mendukung. Kalau bisa turut mengantarkan anaknya ke sekolah sampai pelajaran selesai.”

Pak Isak terlihat gembira tatkala saya menawarkan diri untuk mengajar di lokasi ini. Dia malah menyarankan agar kegiatan belajar nantinya bisa dilakukan di bivaknya. “Anak, nanti kalau mau mengajar di sini saja,” ucapnya sembari menyapa saya dengan sapaan ‘anak’.

Selang tiga hari kemudian, saya datang lagi ke lokasi bivak dengan membawa peralatan untuk mengajar, seperti white board ukuran kecil yang saya beli di kota Merauke beberapa waktu lalu, spidol, dan buku tulis baru untuk saya bagikan ke peserta didik di sini.

Hari itu hari Sabtu, 18 September 2010, saya melihat anak-anak di lokasi ini sudah berkumpul di bivak milik Pak Seblum. Bivak ini sepertinya cocok dijadikan tempat untuk mengajar, karena terdapat semacam teras yang dibuat dari papan di bagian luarnya.

Sebagaimana kebiasaan di sini, saya mengucapkan salam, “Selamat sore adik-adik...” Hampir serempak mereka pun membalasnya, “Sore Pak Guru...” Saya mencoba berkenalan. Agar tak lupa, saya pun mencatat nama-nama anak itu pada buku lapangan yang saya bawa. Sambil mencatat, saya berusaha mengingat wajah dan ciri fisik mereka, karena banyak di antara anak-anak ini yang berwajah mirip.

Marsela, Rifka, Obertina, dan Mersi Ndiken, serta anak-anak kecil lainnya tampak duduk manis bersila. Sekarang anak-anak ini sudah ada di hadapan saya. Semua terdiam. Beberapa anak tampak berbisik-bisik, seperti sedang membicarakan sesuatu. Satu dua anak terlihat tersenyum. Saya pun berusaha melemparkan senyum pada anak-anak itu. Ada yang tertunduk malu, lantas menatap tajam ke arah saya.

Suasana seperti beku. Hening. Semua pandangan beralih tatkala saya mengambil beberapa buku tulis baru. “Ada yang sudah punya buku dan pena?” Sambil menggelengkan kepala, anak-anak ini dengan kompaknya menjawab, “Belum...”

“Saya cuma bawa lima buku tulis dan pena,” kata saya, “yang belum kebagian, besok lagi ya saya bawa...” Karena terbatas, saya hanya membagikan buku tulis dan pena pada anak-anak usia sekolah dan remaja saja.

Meski tampak kecewa tak kebagian buku tulis, sebagian anak-anak kecil lainnya, saya hibur dengan jepretan kamera. Mereka tampak riang tatkala hasil jepretan foto digital itu saya perlihatkan padanya.

Anak-anak yang tak pernah mengenyam bangku sekolah ini, terlihat sangat antusias tatkala saya mulai mengajarkan pengenalan abjad dan bentukan kata sederhana, seperti: bentukan konsonan-vokal (KV). BA – BI – BU – BE – BO, CA – CI – CU – CE – CO, DA – DI – DU – DE – DO, dan seterusnya. Mereka pun dengan lantang menirukan bunyi suku kata itu.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengajar, tiba-tiba saja terdengar tangisan di antara anak-anak ini. “Kenapa, adik?” tanya saya. Tangisannya pun mendadak berhenti. Tak lama berselang, seorang bapak menghampiri kami dan berdiri di belakang barisan duduk anak-anak itu. Agak lama berdiri, namun bapak itu diam saja. “Ah, sepertinya ada yang salah nih...” pikir saya dalam hati.

“Silakan bapak, ada apa?” Sambil memegang pundak anaknya itu, bapak tadi menjawab, “Ini Pak Guru, anak saya mau minum, bolehkah?” Duh, saya kira ada masalah apa.

Tak terasa, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Menutup belajar sore ini, saya merundingkan soal jadwal pertemuan bersama anak-anak di tempat ini. Kita sepakat untuk pertemuan belajar selanjutnya yaitu tiap hari selasa, kamis, dan sabtu.
---***---

* Bivak atau befak adalah sebutan untuk tempat tinggal sementara. Sebagian besar orang Papua di kawasan bagian selatan (terutama Merauke), menyebut befak – yang menunjuk pada tempat istirahat yang biasa didirikan di hutan-hutan. Seperti halnya
susudungon di komunitas Orang Rimba – TNBD Jambi, befak juga didirikan dari kayu-kayu hutan. Bedanya, atap befak terbuat dari kulit kayu bus atau dari daun sagu.
Merauke, November 2010

9 November 2010

Ke Perbatasan Timur Indonesia Lewat Hutan Rawa

“Eh, jangan lupa nanti beliin rokok satu slop buat kita kasih ke tentara yang jaga di perbatasan ya...” kata Pak Meldy saat kami tengah berhenti di salah satu pom bensin untuk mengisi BBM.

Hari itu hari Minggu, 12 September 2010, bertepatan dengan 3 hari pascalebaran Idul Fitri, saya dan teman-teman sesama karyawan PT. MedcoPapua berekreasi bersama menuju distrik Sota, lokasi tugu perbatasan wilayah Indonesia dengan Papua New Guinea (PNG). Kami 13 orang dalam 2 mobil bertolak dari mes karyawan di jalan Mandala-kota Merauke, dengan membawa perbekalan minuman kaleng dan beberapa makanan ringan, seperti kacang dan kue-kue sisa lebaran Idul Fitri.

Jam menunjukkan setengah satu siang. Mobil ranger double cabin yang saya kendarai mulai meluncur membuntuti Kijang Innova yang dikendarai Pak Bob. Di salah satu toko di pinggir jalan, kami berhenti untuk belanja perbekalan tambahan, seperti air minum dalam kemasan dan belanja rokok untuk oleh-oleh tentara di perbatasan. “Tin... tin...” Pak Bob ngasih kode klakson untuk segera berangkat lagi. “Sudah? Gak ada barang yang ketinggalan nih?” Saya pun mulai tancap gas mengikuti Kijang Innova yang meluncur duluan.

“Yuhuu...” begitu teriakan teman-teman yang berada di cabin belakang, saat ranger yang saya kendarai melintas di jalanan aspal bergelombang. Ari, teman saya berkomentar, “Wah bawa mobilnya jangan seperti bawa kuda dong...” Serentak kami pun terbahak-bahak mendengar celetuknya. Jalan yang kami lewati bak menembus belantara rawa di sepanjang jalur lintas menuju perbatasan timur negeri ini.

Pohon bus, ecaliptus, kayu putih, dan tumbuhan rawa lainnya tampak mendominasi pemandangan di sisi kiri-kanan jalan. Jalur ini boleh dikatakan sepi dari kendaraan yang lewat. Hanya satu dua mobil tampak melintas. Sesekali kami berpapasan dengan pengendara sepeda motor yang hendak berburu, dengan senapan dan busur panah terselendang di punggungnya.

Mendekati pintu masuk kawasan Taman Nasional Wasur, saya memperlambat laju kendaraan. Di depan tampak sejumlah mobil berjejer, berhenti hingga separuh jalan. Sepertinya suasana libur pascalebaran banyak dimanfaatkan warga untuk mengunjungi lokasi wisata. Salah satunya ke kawasan taman nasional itu.

Kira-kira 40 menit lagi kami akan sampai di distrik Sota. “Pelan-pelan,” ucap teman saya, “di depan ada pertigaan.” Pedal gas perlahan saya lepas dan mengarahkan mobil ke kanan menuju distrik Sota.

Begitu tiba di distrik Sota, kami harus melapor dan memberikan identitas, biasanya berupa KTP ke petugas TNI yang jaga di pos penjagaan perbatasan (border post) RI – PNG. “Oya, itu rokoknya mau sekalian kita kasih sekarang ke tentara?” usul saya. “Nanti saja pas pulangnya. Sekalian kita ngambil KTP,” ujar teman saya. Usai melapor, kami bergegas menuju lokasi tugu perbatasan yang jaraknya tak jauh dari pos ini.

Sebelum memasuki area tugu perbatasan, terdapat sebuah gapura bertuliskan “GOOD BYE AND SEE YOU AGAIN ANOTHER DAY – IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI,” dengan lambang burung garuda di atasnya. Gapura itu tampak gagah berdiri, menyambut kedatangan para pengunjung perbatasan.

Cuaca cerah dan matahari terasa sangat terik menyengat kulit. Bulir keringat mulai membasahi tubuh. Sejenak kami mencari tempat untuk berteduh di bawah salah satu pohon. Area tugu perbatasan ini dikelilingi oleh taman-taman penuh bunga yang terawat dengan baik. Pagar-pagar dan tempat duduk dihiasi cat berwarna merah-putih, menggambarkan bendera Indonesia. Nuansa nasionalisme begitu terasa di tempat ini, meski lokasinya berada jauh ribuan kilometer dari pusat pemerintahan di Jakarta.

Tak banyak yang kami lakukan di tempat ini. Seperti halnya para pengunjung yang lain, kami juga berfoto-foto dan berjalan-jalan seputar area tugu perbatasan. Secara kebetulan, kami juga bertemu dengan rombongan Pak Syam dan keluarganya. Mereka lantas mengajak kami untuk bergabung makan-makan bersama di bawah kerindangan pohon.

Untuk mencapai tugu perbatasan RI – PNG yang berada di distrik Sota ini cukup mudah. Yaitu menggunakan jalur darat, bisa dengan mobil atau kendaraan roda dua (sepeda motor). Kalau tak ingin repot, sebaiknya Anda membawa kendaraan sendiri. Pasalnya, kendaraan umum ke distrik Sota sangat terbatas. Dan jika berangkat dari kota Merauke, bisa dicapai dalam waktu tempuh dua setengah hingga tiga jam.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Namun matahari masih terasa terik saja. Kami bersiap untuk pulang ke kota Merauke. Kali ini kunci ranger saya berikan ke Ari. “Udah bawa lagi saja mobilnya,” katanya. “Gak ah, saya pingin jadi penumpang sekarang.” Kami pun segera masuk ke cabin belakang.

“Wah, pantesan giliran saya yang nyetir,” tutur Ari, “gak tahunya matahari bikin silau mata.”

Tak lupa kami mampir lagi ke pos penjagaan perbatasan, yang dijaga oleh TNI itu. Sambil memberikan oleh-oleh berupa rokok dan mengambil KTP tadi, kami juga menyempatkan untuk berfoto bersama tentara-tentara yang tampak ramah itu. Ranger kembali menapaki jalanan aspal bergelombang menuju jalur pulang ke arah kota Merauke.
---***---
Merauke, Oktober 2010