Lahan ini rencananya akan ditanami pohon karet (para). Menurut Bepak Muncang, si pemilik lahan, untuk membuka lahan baru ini membutuhkan biaya sebesar 3 juta. Biaya itu antara lain untuk ongkos tebang menggunakan mesin sainsaw – yang biasa dikerjakan oleh orang desa. Bepak Muncang sengaja membiarkan kayu-kayu tebangan itu untuk dibakar saja, karena untuk memanfaatkan (membelah) kayu hasil tebangan itu juga membutuhkan biaya yang tinggi, bisa mencapai 1 juta rupiah per meter kubiknya.
Sebagian besar ladang-ladang di wilayah Makekal Hulu ini umumnya ditanami pohon karet. Tiap ladang mempunyai tegakan pohon karet yang berbeda-beda umur tanamnya. Dan pohon karet yang sudah bisa dipotong (disadap getahnya) biasanya yang sudah mencapai umur 8 tahun. Sepertinya, pohon karet ini menjadi komoditas favorit bagi sebagian besar komunitas Orang Rimba yang mendiami wilayah Makekal Hulu. Pada dasarnya, Orang Rimba bermatapencaharian sebagai petani (ladang/huma). Karenanya, kebutuhan untuk membuka dan memiliki lahan dirasa cukup tinggi. Di sini, faktor kepemilikan lahan menjadi penting.
Kepemilikan lahan (ladang/huma) tak hanya didominasi oleh para rerayo (orang tua) saja. Bujang-bujang Orang Rimba pun banyak yang memiliki ladang. Ironisnya, meski mempunyai kesadaran akan pentingnya sebidang lahan, banyak di antara Orang Rimba yang menjual ladangnya itu kepada orang desa (orang luar). Beralihnya kepemilikan lahan itu menjadi wacana dan persoalan tersendiri di komunitas Orang Rimba. Banyak sebab kenapa Orang Rimba menjual ladangnya itu.
Salah satu pemicunya adalah keinginan untuk mempunyai motor. Kebutuhan akan alat transportasi ini menjadikan mobilitas Orang Rimba untuk berhubungan dengan orang luar semakin cepat dan mudah. Seperti menjual hasil karet, menjual cabe, menjual binatang hasil buruan, dan bahkan berbelanja kebutuhan pokok (sembako) akan menjadi efektif. Desa terdekat yang biasa dikunjungi oleh Orang Rimba adalah permukiman transmigrasi (SP-G), yang bila ditempuh dengan berjalan kaki bisa sekitar 3 jam (meski Orang Rimba tak mengenal konsep waktu konvensional). Namun dengan adanya motor, jarak tempuh itu jadi tak masalah. Hanya lebih kurang 1 jam saja sudah sampai ke desa terdekat itu.
Di samping itu, mudahnya akses jalan untuk keluar-masuk kawasan hidup Orang Rimba, menjadi peluang bagi orang desa (luar) untuk berhubungan langsung dengan Orang Rimba. Mereka sengaja datang untuk menawar ladang milik Orang Rimba. Rupanya, tawar-menawar soal harga jual ladang/huma itu sudah menjadi hal yang biasa. Bagi Orang Rimba, keinginan untuk mempunyai motor mungkin sudah menjadi kebutuhannya. Namun yang jelas, haruskah untuk memenuhi kebutuhannya itu menjadikan lahan Orang Rimba hilang?
---***---
Bangko-Jambi, Agustus 2008