3 Desember 2010

Ini Aceh, Bang! (Sisi Lain Pengungsi Tsunami Aceh)

“Dulu Bang, sebelum tsunami, kampung kita sangat ramai. Banyak pemudanya. Sekarang Abang lihat saja sendiri, hanya kami yang tersisa.”

Minggu, 26 Desember 2004 adalah hari kelabu bagi Aceh. Pagi itu, gelombang tsunami telah menerjang dan meluluhlantakkan sebagian besar pesisir barat Aceh.

Kampung UM (nama kampung sengaja saya samarkan) yang secara geografis terletak di pesisir barat Aceh, juga tak luput dari ancaman tersebut. Ombak setinggi pohon kelapa itu telah menghempaskan kampung ini, sekaligus menorehkan kenangan tersendiri di benak warganya yang selamat.

Cerita ini coba melihat sisi lain kehidupan warga di kamp pengungsian korban tsunami.

Warga kampung UM yang tinggal di tenda-tenda pengungsian korban tsunami, mempunyai kehidupan sosial yang cukup dinamis. Sekiranya ada dua ratusan tenda dan rumah kayu sederhana didirikan mengelilingi lapangan bola, membentuk sebuah kesatuan sosial tersendiri. Sebuah komunitas baru telah dibentuk.

Pemuda misalnya, mereka banyak yang menyukai olah raga sepak bola. Biasanya, kegiatan olah raga ini dilakukan tiap sore, sepulang mencari ikan di laut. Sepak bola menjadi tontonan menarik dan menghibur bagi warga di tengah penatnya rutinitas sehari-hari.

Masih banyaknya pemuda yang ‘tersisa’ di kampung ini menjadikan kamp pengungsian selalu “hidup”. Suara musik house sering terdengar begitu keras di beberapa tenda yang dihuni oleh para pemuda. Pernah suatu ketika, hari menjelang maghrib, suara adzan di meunasah (Aceh: masjid) berkumandang, namun di sebuah tenda yang letaknya dekat sumber air umum itu, tak kalah kerasnya bunyi musik berdentum. Rupanya, dentuman musik itu membuat marah beberapa golongan orang tua yang hendak pergi ke meunasah. Tak ayal, pemuda itu pun ditegur agar segera mematikan suara musiknya.

Kehidupan malam di kamp pengungsian ini terkonsentrasi di tenda masing-masing. Bila kita telusuri di beberapa tenda yang dihuni oleh para pemuda itu, mereka mempunyai kebiasaan tersendiri. Banyak di antaranya adalah penghisap bakong (Aceh: ganja), daun alami yang banyak tumbuh di tanah rencong ini. Sambil menghisap, mereka mengisahkan tentang banyak hal.

Di sebuah tenda milik Mistariadi misalnya, sekitar sepuluhan pemuda tengah berkumpul. Mereka melakukan kegiatan apa saja sesuka hatinya. Ada yang sedang bermain catur, memetik gitar, bahkan ada yang “main batu” – semacam judi mirip permainan dadu. Tentu saja, wangi aroma bakong pun menyeruak dan menelusup keluar melewati celah pintu tenda yang tak tertutup rapat.

Menghisap bakong di tempat ini sepertinya hal yang lumrah, sudah biasa. Entah dari mana mereka mendapatkan ‘barang’ itu begitu mudahnya. “Ini Aceh, Bang!” ucap seorang pemuda. Di tenda ini memang tak pernah sepi oleh pemuda yang biasa berkumpul. Cerita pengalaman keseharian mereka ungkapkan – mewarnai kehidupan masing-masing. Bila bercerita tentang keadaan kampung sebelum tsunami, mereka selalu membuat batasan waktu dengan sebutan “dulu”. Maksudnya, musibah tsunami dijadikan acuan batas waktu atau sekat untuk membedakannya dengan waktu sekarang.

“Dulu Bang, sebelum tsunami, kampung kita sangat ramai. Banyak pemudanya. Sekarang Abang lihat saja sendiri, hanya kami yang tersisa,” tutur Syakri sembari mengepulkan ‘asap surga’ ke langit-langit tenda. Pemuda lainnya, Iwan, Hamidi, Nazar, dan Mistariadi juga larut dengan cerita pengalaman hidupnya sebelum tsunami. Mereka mengenang masa-masa konflik berkepanjangan yang melanda tanah ini: Aceh.

Menurut mereka, hampir semua kaum laki-laki di kampung ini pernah mendapat hadiah dari aparat: tamparan dan tendangan. Sudah menjadi makanan sehari-hari, begitu istilahnya. Hanya Syakri, katanya, yang belum pernah mendapat hadiah itu. Dia mengaku bahwa dirinya belum pernah sekalipun kena pukul aparat. “Mereka sayang Bang sama saya. Betul Bang. Karena saya berani bicara bahwa saya bukan GAM.” Entah benar atau tidak, yang jelas obrolan dalam suasana akrab itu membuat mata kami semakin memerah, perih, dan sayu. Malam kian larut. Saya berpamitan.

Di tenda lain, tenda milik Bang Pah, beda lagi ceritanya. Bang Pah, seorang toke kepiting ini, suka mengundang kami untuk makan mie kepiting di tenda miliknya. Dengan dibantu oleh pemuda lain untuk menyiapkan masakan mie kepiting itu, Bang Pah juga terlihat sibuk mengumpulkan daun-daun bakong untuk dijadikan satu dicampur dengan bumbu lain. “Biar lebih enak,” ujarnya.

Selain suka bermain bola, pemuda di kampung ini ternyata mahir memasak. Mereka pandai meracik dan mengolah bumbu dapur. Menyulap masakan, terutama mie kepiting menjadi masakan dengan rasa yang khas bikin lidah bergoyang. Bagi Anda yang belum pernah menyantap hidangan mie kepiting khas bikinan pemuda kampung ini, rasanya kurang pas bila belum mencobanya. Mereka sering mengucapkan kalimat “Mangat that!” yang artinya enak sekali. Ungkapan itu biasa terucap ketika menyantap hidangan bersama-sama.

Kegemaran berkumpul pemuda dan juga warga lainnya di kampung ini, membentuk wacana tersendiri. Tak hanya di tenda, berkumpul untuk sekadar berbincang-bincang sambil minum kopi paling sering dilakukan di kedai-kedai.

Di kedai milik Bang Boy misalnya, banyak dikunjungi kaum laki-laki. Dari pagi hingga sore kedai ini tak pernah sepi dari pengunjung. Selain karena kedainya menyediakan berbagai kebutuhan warga, seperti makanan, minuman, dan alat-alat pancing, kedai Bang Boy juga biasa menerima pembayaran kasbon (pembeli bisa mengutang). Letak kedainya sangat strategis, posisinya berada di pinggir jalan masuk menuju kamp pengungsian ini. Halaman depan kedainya juga dijadikan tempat menampung ikan oleh beberapa toke (bandar) ikan yang ada. Makanya, sesepi apapun kedai Bang Boy, ya ada satu-dua bahkan beberapa orang yang menjadi pelanggan tetapnya.

Kedai Bang Boy adalah salah satu kedai yang sering kami kunjungi. Karena banyak warga yang menjadikan kedai ini sebagai salah satu tempat sosialisasi. Informasi-informasi seputar persoalan kampung, keluh kesah para nelayan, atau bualan-bualan dari seorang mantan gerilyawan meluncur begitu saja. Tapi jangan salah, karena di kampung ini juga ada pos aparat TNI yang bertugas, terkadang obrolan bisa jadi tak sebebas seperti di tenda-tenda pada malam hari. Ada batasan untuk hal-hal yang ‘sensitif’ terutama yang menyangkut masalah politik. Bahkan seorang bapak pernah mengingatkan, “Politiek hana titiek”. Bicara politik itu tak pernah ada ujungnya.
---***---
Gampong Lon, November 2005

12 November 2010

Mengajar di Lokasi Bivak Batu Bata


Pada hari Selasa, tanggal 14 September 2010, saya mengunjungi lokasi bivak pembuatan batu bata yang berada di dalam site perusahaan. Tujuan saya tak lain adalah mencari peserta didik (murid), terutama anak-anak dan usia remaja, yang belum bisa atau belum lancar membaca dan menulis. Dan yang penting mau belajar bersama saya.

Di lokasi ini terdapat 4 bivak yang dihuni oleh beberapa keluarga yang berasal dari kampung sekitar site perusahaan: Buepe, Kaniskobar, dan Kwensip. Mereka bekerja sebagai pembuat batu bata secara borongan. Batu bata itu dibuat dari tanah. Setelah dicetak, lantas dijemur dan disisik, dan selanjutnya dibakar di pengapian. Para keluarga tadi mendapat pemasukan dari jerih payahnya berdasarkan kesepakatan harga dengan salah satu departemen – yang secara langsung mengkoordinir dan turut mengawasi pembuatan batu bata di lokasi ini.

Mereka yang terlibat dalam proses pembuatan batu bata tak hanya para orang tua. Beberapa remaja – yang saya taksir berusia empat belasan tahun itu, juga ikut membantu orang tuanya. Mereka terlihat sibuk mendorong gerobak berisi tanah merah untuk kemudian dicetak menjadi batu bata dalam ukuran tertentu.

Di tempat ini, saya juga berbincang-bincang dengan Pak Isak Balagaize. Pria berpostur tinggi dan berusia paling tua, namun tampak gagah ini, adalah satu di antara penghuni bivak lainnya yang menaruh harapan besar terhadap anak dan cucu-cucunya untuk bisa bersekolah hingga jenjang yang paling tinggi.

“Bapak mau anak-anak di sini bisa sekolah seperti di tempat lain,” katanya, “sekolah bukan hanya keinginan anak-anak saja. Tapi orang tuanya juga harus ikut mendukung. Kalau bisa turut mengantarkan anaknya ke sekolah sampai pelajaran selesai.”

Pak Isak terlihat gembira tatkala saya menawarkan diri untuk mengajar di lokasi ini. Dia malah menyarankan agar kegiatan belajar nantinya bisa dilakukan di bivaknya. “Anak, nanti kalau mau mengajar di sini saja,” ucapnya sembari menyapa saya dengan sapaan ‘anak’.

Selang tiga hari kemudian, saya datang lagi ke lokasi bivak dengan membawa peralatan untuk mengajar, seperti white board ukuran kecil yang saya beli di kota Merauke beberapa waktu lalu, spidol, dan buku tulis baru untuk saya bagikan ke peserta didik di sini.

Hari itu hari Sabtu, 18 September 2010, saya melihat anak-anak di lokasi ini sudah berkumpul di bivak milik Pak Seblum. Bivak ini sepertinya cocok dijadikan tempat untuk mengajar, karena terdapat semacam teras yang dibuat dari papan di bagian luarnya.

Sebagaimana kebiasaan di sini, saya mengucapkan salam, “Selamat sore adik-adik...” Hampir serempak mereka pun membalasnya, “Sore Pak Guru...” Saya mencoba berkenalan. Agar tak lupa, saya pun mencatat nama-nama anak itu pada buku lapangan yang saya bawa. Sambil mencatat, saya berusaha mengingat wajah dan ciri fisik mereka, karena banyak di antara anak-anak ini yang berwajah mirip.

Marsela, Rifka, Obertina, dan Mersi Ndiken, serta anak-anak kecil lainnya tampak duduk manis bersila. Sekarang anak-anak ini sudah ada di hadapan saya. Semua terdiam. Beberapa anak tampak berbisik-bisik, seperti sedang membicarakan sesuatu. Satu dua anak terlihat tersenyum. Saya pun berusaha melemparkan senyum pada anak-anak itu. Ada yang tertunduk malu, lantas menatap tajam ke arah saya.

Suasana seperti beku. Hening. Semua pandangan beralih tatkala saya mengambil beberapa buku tulis baru. “Ada yang sudah punya buku dan pena?” Sambil menggelengkan kepala, anak-anak ini dengan kompaknya menjawab, “Belum...”

“Saya cuma bawa lima buku tulis dan pena,” kata saya, “yang belum kebagian, besok lagi ya saya bawa...” Karena terbatas, saya hanya membagikan buku tulis dan pena pada anak-anak usia sekolah dan remaja saja.

Meski tampak kecewa tak kebagian buku tulis, sebagian anak-anak kecil lainnya, saya hibur dengan jepretan kamera. Mereka tampak riang tatkala hasil jepretan foto digital itu saya perlihatkan padanya.

Anak-anak yang tak pernah mengenyam bangku sekolah ini, terlihat sangat antusias tatkala saya mulai mengajarkan pengenalan abjad dan bentukan kata sederhana, seperti: bentukan konsonan-vokal (KV). BA – BI – BU – BE – BO, CA – CI – CU – CE – CO, DA – DI – DU – DE – DO, dan seterusnya. Mereka pun dengan lantang menirukan bunyi suku kata itu.

Ketika sedang asyik-asyiknya mengajar, tiba-tiba saja terdengar tangisan di antara anak-anak ini. “Kenapa, adik?” tanya saya. Tangisannya pun mendadak berhenti. Tak lama berselang, seorang bapak menghampiri kami dan berdiri di belakang barisan duduk anak-anak itu. Agak lama berdiri, namun bapak itu diam saja. “Ah, sepertinya ada yang salah nih...” pikir saya dalam hati.

“Silakan bapak, ada apa?” Sambil memegang pundak anaknya itu, bapak tadi menjawab, “Ini Pak Guru, anak saya mau minum, bolehkah?” Duh, saya kira ada masalah apa.

Tak terasa, jam tangan saya sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Menutup belajar sore ini, saya merundingkan soal jadwal pertemuan bersama anak-anak di tempat ini. Kita sepakat untuk pertemuan belajar selanjutnya yaitu tiap hari selasa, kamis, dan sabtu.
---***---

* Bivak atau befak adalah sebutan untuk tempat tinggal sementara. Sebagian besar orang Papua di kawasan bagian selatan (terutama Merauke), menyebut befak – yang menunjuk pada tempat istirahat yang biasa didirikan di hutan-hutan. Seperti halnya
susudungon di komunitas Orang Rimba – TNBD Jambi, befak juga didirikan dari kayu-kayu hutan. Bedanya, atap befak terbuat dari kulit kayu bus atau dari daun sagu.
Merauke, November 2010

9 November 2010

Ke Perbatasan Timur Indonesia Lewat Hutan Rawa

“Eh, jangan lupa nanti beliin rokok satu slop buat kita kasih ke tentara yang jaga di perbatasan ya...” kata Pak Meldy saat kami tengah berhenti di salah satu pom bensin untuk mengisi BBM.

Hari itu hari Minggu, 12 September 2010, bertepatan dengan 3 hari pascalebaran Idul Fitri, saya dan teman-teman sesama karyawan PT. MedcoPapua berekreasi bersama menuju distrik Sota, lokasi tugu perbatasan wilayah Indonesia dengan Papua New Guinea (PNG). Kami 13 orang dalam 2 mobil bertolak dari mes karyawan di jalan Mandala-kota Merauke, dengan membawa perbekalan minuman kaleng dan beberapa makanan ringan, seperti kacang dan kue-kue sisa lebaran Idul Fitri.

Jam menunjukkan setengah satu siang. Mobil ranger double cabin yang saya kendarai mulai meluncur membuntuti Kijang Innova yang dikendarai Pak Bob. Di salah satu toko di pinggir jalan, kami berhenti untuk belanja perbekalan tambahan, seperti air minum dalam kemasan dan belanja rokok untuk oleh-oleh tentara di perbatasan. “Tin... tin...” Pak Bob ngasih kode klakson untuk segera berangkat lagi. “Sudah? Gak ada barang yang ketinggalan nih?” Saya pun mulai tancap gas mengikuti Kijang Innova yang meluncur duluan.

“Yuhuu...” begitu teriakan teman-teman yang berada di cabin belakang, saat ranger yang saya kendarai melintas di jalanan aspal bergelombang. Ari, teman saya berkomentar, “Wah bawa mobilnya jangan seperti bawa kuda dong...” Serentak kami pun terbahak-bahak mendengar celetuknya. Jalan yang kami lewati bak menembus belantara rawa di sepanjang jalur lintas menuju perbatasan timur negeri ini.

Pohon bus, ecaliptus, kayu putih, dan tumbuhan rawa lainnya tampak mendominasi pemandangan di sisi kiri-kanan jalan. Jalur ini boleh dikatakan sepi dari kendaraan yang lewat. Hanya satu dua mobil tampak melintas. Sesekali kami berpapasan dengan pengendara sepeda motor yang hendak berburu, dengan senapan dan busur panah terselendang di punggungnya.

Mendekati pintu masuk kawasan Taman Nasional Wasur, saya memperlambat laju kendaraan. Di depan tampak sejumlah mobil berjejer, berhenti hingga separuh jalan. Sepertinya suasana libur pascalebaran banyak dimanfaatkan warga untuk mengunjungi lokasi wisata. Salah satunya ke kawasan taman nasional itu.

Kira-kira 40 menit lagi kami akan sampai di distrik Sota. “Pelan-pelan,” ucap teman saya, “di depan ada pertigaan.” Pedal gas perlahan saya lepas dan mengarahkan mobil ke kanan menuju distrik Sota.

Begitu tiba di distrik Sota, kami harus melapor dan memberikan identitas, biasanya berupa KTP ke petugas TNI yang jaga di pos penjagaan perbatasan (border post) RI – PNG. “Oya, itu rokoknya mau sekalian kita kasih sekarang ke tentara?” usul saya. “Nanti saja pas pulangnya. Sekalian kita ngambil KTP,” ujar teman saya. Usai melapor, kami bergegas menuju lokasi tugu perbatasan yang jaraknya tak jauh dari pos ini.

Sebelum memasuki area tugu perbatasan, terdapat sebuah gapura bertuliskan “GOOD BYE AND SEE YOU AGAIN ANOTHER DAY – IZAKOD BEKAI IZAKOD KAI,” dengan lambang burung garuda di atasnya. Gapura itu tampak gagah berdiri, menyambut kedatangan para pengunjung perbatasan.

Cuaca cerah dan matahari terasa sangat terik menyengat kulit. Bulir keringat mulai membasahi tubuh. Sejenak kami mencari tempat untuk berteduh di bawah salah satu pohon. Area tugu perbatasan ini dikelilingi oleh taman-taman penuh bunga yang terawat dengan baik. Pagar-pagar dan tempat duduk dihiasi cat berwarna merah-putih, menggambarkan bendera Indonesia. Nuansa nasionalisme begitu terasa di tempat ini, meski lokasinya berada jauh ribuan kilometer dari pusat pemerintahan di Jakarta.

Tak banyak yang kami lakukan di tempat ini. Seperti halnya para pengunjung yang lain, kami juga berfoto-foto dan berjalan-jalan seputar area tugu perbatasan. Secara kebetulan, kami juga bertemu dengan rombongan Pak Syam dan keluarganya. Mereka lantas mengajak kami untuk bergabung makan-makan bersama di bawah kerindangan pohon.

Untuk mencapai tugu perbatasan RI – PNG yang berada di distrik Sota ini cukup mudah. Yaitu menggunakan jalur darat, bisa dengan mobil atau kendaraan roda dua (sepeda motor). Kalau tak ingin repot, sebaiknya Anda membawa kendaraan sendiri. Pasalnya, kendaraan umum ke distrik Sota sangat terbatas. Dan jika berangkat dari kota Merauke, bisa dicapai dalam waktu tempuh dua setengah hingga tiga jam.

Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Namun matahari masih terasa terik saja. Kami bersiap untuk pulang ke kota Merauke. Kali ini kunci ranger saya berikan ke Ari. “Udah bawa lagi saja mobilnya,” katanya. “Gak ah, saya pingin jadi penumpang sekarang.” Kami pun segera masuk ke cabin belakang.

“Wah, pantesan giliran saya yang nyetir,” tutur Ari, “gak tahunya matahari bikin silau mata.”

Tak lupa kami mampir lagi ke pos penjagaan perbatasan, yang dijaga oleh TNI itu. Sambil memberikan oleh-oleh berupa rokok dan mengambil KTP tadi, kami juga menyempatkan untuk berfoto bersama tentara-tentara yang tampak ramah itu. Ranger kembali menapaki jalanan aspal bergelombang menuju jalur pulang ke arah kota Merauke.
---***---
Merauke, Oktober 2010

5 September 2010

Program Bantuan Membawa Perubahan?

(Sebuah catatan lapangan tentang sikap, perilaku, dan strategi komunitas korban bencana tsunami di Desa Ujong Muloh – Aceh Jaya, NAD)

Daud dan Amir (bukan nama sebenarnya) yang masing-masing berprofesi sebagai penebang kayu dan pedagang ikan di pasar Lamno, seringkali terlihat sibuk membawa map berisi proposal. Pada tahun 2005 hingga pertengahan 2006, banyak sekali NGO atau lembaga asing yang mempunyai program, di antaranya pemberdayaan ekonomi bagi komunitas korban bencana tsunami di Aceh.

Sebagai kampung yang terkena tsunami pada 26 Desember 2004 yang lalu, Ujong Muloh* juga tak luput dari perhatian dunia. Begitu banyak bantuan dan program pemberdayaan ekonomi terutama dari lembaga asing.

Saya sering dimintai tolong oleh kedua orang itu untuk mengetikkan proposal permohonan bantuan ke sejumlah NGO yang ada. Proposal itu berisi permohonan usaha dagang untuk kedai dan usaha dagang ikan. Saya mengetikkan beberapa lembar kertas yang ditulis tangan olehnya.

Malam berikutnya Daud datang lagi. “Gak ada tanda tangan camat-nya,” katanya. Surat itupun saya perbaiki. Selang dua hari, dia datang lagi bersama Amir. Meminta saya untuk memperbaiki lagi proposal itu. “Apa lagi yang salah Bang?” tanya saya. “Gak ada. Cuma ada yang harus diganti nama-nama barangnya,” ujar Daud.

Proposal tersebut adalah pengajuan beberapa warga yang dikoordinir oleh Daud dan Amir sebagai ketua dan sekretaris. Ini yang kedua kalinya mereka meminta saya untuk memperbaiki proposal itu. Sekarang yang diganti adalah daftar ajuan kebutuhan barang.

Berikutnya Daud datang seorang diri, malam itu sudah hampir pukul 23.00. Dengan sedikit kesal, saya pun memperbaiki proposalnya. Kali ini yang minta diperbaiki adalah daftar nama-nama orangnya. Sebenarnya, ketikkan hasil saya itu tidak ada yang salah. Namun saya heran juga kenapa mesti bolak-balik minta diganti ini-itu?**.

Selang beberapa hari kemudian, giliran Amir datang ke tempat saya. Sambil memberikan sebungkus rokok, dia minta tolong mengetikkan surat permohonan usaha yang lain. “Lah… yang kemarin itu jadi diajukan ke NGO, Bang?” tanya saya. “Itu untuk NGO yang lain. Sekarang saya minta tolong ketikkan buat usaha becak,” pintanya.

Sebetulnya, saya agak malas untuk mengetikkan proposal-proposal milik warga itu. Terkadang hingga larut malam saya harus menyelesaikannya. Dan bila ada proposal yang belum selesai saya ketik, mereka selalu menggerutu di belakang saya. Hmm…

Saya sering melihat kedua orang itu sibuk bolak-balik mencari geuchik (kepala desa) untuk minta tanda tangannya. Mereka sering juga ke kantor camat, menenteng beberapa proposal. Nah, suatu saat saya bertemu Daud dan Amir lagi. Tak dinyana, mereka meminta saya lagi untuk mengetikkan proposal yang lain. Katanya, biar bisa disebar ke beberapa NGO. Saat itu saya memberanikan diri untuk menolak permintaan mereka. Bukan apa-apa, karena saya berpikir bahwa proposal-proposal mereka itu sesungguhnya fiktif.

Mereka berharap dan terus berharap dengan proposal yang mereka ajukan dan disebar ke sejumlah NGO, bisa mendapatkan bantuan yang banyak. Waktu mereka banyak terbuang percuma dengan mondar-mandir ke kantor desa, kantor camat di Lamno atau hingga ke Calang – yang jaraknya lumayan jauh itu. Terdengar kabar tentang mereka berdua, bahwa semua proposal yang diajukannya tidak ada yang disetujui oleh NGO.

Bila Daud dan Amir serta beberapa orang warga yang lain sibuk membuat dan menyebar proposal ke sejumlah NGO, lain halnya dengan Jamal (bukan nama sebenarnya) yang seorang duda itu. Jamal seakan tak peduli dengan itu semua. Sehari-harinya Jamal hanya kerja serabutan. Dia sering terlihat bantu mencuci piring dan mengambilkan air di kedai milik Bang Boy. Setahu saya, dia tak pernah sekalipun minta tolong diketikkan permohonan atau proposal bantuan untuk diajukan kepada NGO. Dia tak pernah ribut bila tidak mendapat bantuan. Dan tak pernah kelihatan mengeluh pada nasibnya itu.

“Kok gak pernah bikin proposal seperti orang lain, Bang?” tanya saya sedikit penasaran. “Halah buat apa bikin proposal. Biarin saja…” ungkapnya.

Program-program bantuan yang ditelorkan oleh sejumlah lembaga atau NGO itu sepertinya memunculkan pandangan dan bermacam perilaku tersendiri. Bagi warga di kampung ini, semua bantuan yang masuk itu harus bisa dibagi rata ke semua kepala keluarga (KK) yang ada, berapapun besar bantuannya. Agar semua bisa merasakan manfaatnya. Tentu saja, pandangan tersebut menimbulkan pro – kontra di komunitas sendiri. Salah-salah, konflik horizontal pun bisa terjadi.

Mudah-mudahan cerita ini bisa menjadi refleksi bagi kita. Terutama di daerah bencana yang lain.
---***---
* Secara administratif, Desa Ujong Muloh berada dalam wilayah Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya. Jarak tempuh dari ibukota propinsi (Banda Aceh) sekitar 3 jam dan berjarak kira-kira 90 km arah tenggara kota Banda Aceh. Karena letak kampungnya yang berada di pesisir barat NAD, Ujong Muloh termasuk salah satu kampung dengan tingkat kerusakan paling parah bersama kampung-kampung lain yang juga berada di pesisir dalam satu kecamatan.

** Rupanya, ada beberapa orang yang membuat proposal berbentuk permohonan usaha bersama/kelompok dengan ‘mencatut’ nama-nama warga yang lain di dalam proposalnya itu, sehingga nama orang yang bersangkutan (yang dicatut namanya) merasa tidak tahu-menahu soal proposal yang diajukan. Karena ada sejumlah NGO yang mempunyai sasaran ke program usaha bersama atau kelompok, maka peluang demikian selalu disiasati oleh beberapa warga untuk memuluskan proposalnya itu. Kenyataan lain di lapangan, nama-nama anggota kelompok di dalam proposal yang diajukan ke NGO, biasanya berisi daftar nama keluarga dekatnya atau familinya. Biasanya pula, si pembuat proposal akan merahasiakan apa isi dalam proposal itu terhadap warga yang lain. “Jangan bilang-bilang ke orang lain ya, kalau saya bikin proposal ini.” Pinta salah seorang warga kepada saya.


Lamno-Aceh Jaya, Juli 2007

25 Maret 2009

Dikira Musang, ternyata...

Pagi itu, seorang murid kami mendapat binatang buruan yang berhasil ditembaknya dengan senapan angin. Peluru yang bersarang di kepalanya, membuat binatang itu terkapar tak berdaya. Murid-murid lainnya pun kelihatan senang karena sebentar lagi akan menyantap daging yang enak itu.

Segera saja, Penangguk membawa binatang itu ke perapian untuk dicabuti bulunya. Ketika tengah asik mencabuti bulu binatang itu, datanglah seorang rerayo (orang tua). “Louk apo yoya?” (Daging apa itu?) Tanyanya. “Musang.” Penangguk pun menjawabnya sambil membalik-balikan binatang itu di atas perapian. Tapi setelah orang tua itu menjelaskan bahwa binatang itu bukan musang, seketika saja wajah anak-anak berubah kecut.

Membayangkan akan menyantap daging yang enak sirna sudah. Binatang itu ternyata bukan Musang, melainkan Trenggelung. Kata orang tua tadi, Trenggelung memang mirip dengan Musang. Hanya saja, Musang mempunyai ekor yang agak panjang. Dan daging Trenggelung rasanya tak enak.

Tapi tak apalah, meski sudah tahu binatang itu bukan Musang, anak-anak tetap saja meneruskan untuk mengolah dagingnya. Selesai dikuliti, lantas daging itu dipotong-potong dan dicucinya di sungai dan direbus – dicampur bumbu-bumbu yang ada. Cabe merah, bawang merah, dan bawang putih. Sebagai penyedap rasa, ditambah kecap manis, garam, dan sedikit masako.

Benar saja, seorang murid yang menyantapnya dibuat mual dan muntah-muntah karena rasa daging yang tak enak itu. Daging yang masih tersisa banyak itu pun lantas dibuangnya. Dikira Musang, ternyata Trenggelung.
---***---
Bangko-Jambi, 25 Maret 2009

8 November 2008

Tim Indonesia 4x4 Expedition ke Rimba



Tim Indonesia 4x4 Expedition mengunjungi Sokola Rimba di Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) – Jambi. Ekspedisi bertema budaya yang dimotori oleh Land Rover Club Indonesia (LRCI) ini memperlihatkan bahwa offroaders tak hanya sekadar bermain dan bersenang-senang saja dengan mobil offroad-nya.

Selain memberikan pelayanan pengobatan gratis untuk Orang Rimba, para offroaders juga mengenal dan memahami lebih dekat kehidupan Orang Rimba, belajar cara hidup di alam bebas seperti bagaimana cara membuat jerat binatang buruan dan cara membuat shelter alam yang baik.

Meski hanya tiga hari (12-14 Oktober 2008) berada di Makekal Hulu – TNBD, kesan yang ditorehkan di kawasan hidup Orang Rimba itu begitu mendalam. Salut!!
---***---
Bangko-Jambi, Oktober 2008

27 Agustus 2008

Membuka Lahan, (... Lalu Menanam Motor)

Suatu hari, saya diajak oleh seorang bepak (bapak) yang akan membakar ladang/huma yang sudah dibiarkannya selama 3 bulan itu. Lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami di wilayah Makekal Hulu TNBD. Beberapa anak juga turut serta untuk membantu menyulutkan api pada ranting-ranting dan dahan pohon tebangan yang sudah mengering itu. Lima batang buluh yang telah diberi sumbu berisi minyak tanah segera mereka sulut. Mereka mulai berpencar ke berbagai sudut lahan dan tak lama kemudian kobaran api segera menyambar-nyambar dedaunan dan ranting-ranting kering itu. Menjadikan langit gelap seketika.

Lahan ini rencananya akan ditanami pohon karet (para). Menurut Bepak Muncang, si pemilik lahan, untuk membuka lahan baru ini membutuhkan biaya sebesar 3 juta. Biaya itu antara lain untuk ongkos tebang menggunakan mesin sainsaw – yang biasa dikerjakan oleh orang desa. Bepak Muncang sengaja membiarkan kayu-kayu tebangan itu untuk dibakar saja, karena untuk memanfaatkan (membelah) kayu hasil tebangan itu juga membutuhkan biaya yang tinggi, bisa mencapai 1 juta rupiah per meter kubiknya.

Sebagian besar ladang-ladang di wilayah Makekal Hulu ini umumnya ditanami pohon karet. Tiap ladang mempunyai tegakan pohon karet yang berbeda-beda umur tanamnya. Dan pohon karet yang sudah bisa dipotong (disadap getahnya) biasanya yang sudah mencapai umur 8 tahun. Sepertinya, pohon karet ini menjadi komoditas favorit bagi sebagian besar komunitas Orang Rimba yang mendiami wilayah Makekal Hulu. Pada dasarnya, Orang Rimba bermatapencaharian sebagai petani (ladang/huma). Karenanya, kebutuhan untuk membuka dan memiliki lahan dirasa cukup tinggi. Di sini, faktor kepemilikan lahan menjadi penting.

Kepemilikan lahan (ladang/huma) tak hanya didominasi oleh para rerayo (orang tua) saja. Bujang-bujang Orang Rimba pun banyak yang memiliki ladang. Ironisnya, meski mempunyai kesadaran akan pentingnya sebidang lahan, banyak di antara Orang Rimba yang menjual ladangnya itu kepada orang desa (orang luar). Beralihnya kepemilikan lahan itu menjadi wacana dan persoalan tersendiri di komunitas Orang Rimba. Banyak sebab kenapa Orang Rimba menjual ladangnya itu.

Salah satu pemicunya adalah keinginan untuk mempunyai motor. Kebutuhan akan alat transportasi ini menjadikan mobilitas Orang Rimba untuk berhubungan dengan orang luar semakin cepat dan mudah. Seperti menjual hasil karet, menjual cabe, menjual binatang hasil buruan, dan bahkan berbelanja kebutuhan pokok (sembako) akan menjadi efektif. Desa terdekat yang biasa dikunjungi oleh Orang Rimba adalah permukiman transmigrasi (SP-G), yang bila ditempuh dengan berjalan kaki bisa sekitar 3 jam (meski Orang Rimba tak mengenal konsep waktu konvensional). Namun dengan adanya motor, jarak tempuh itu jadi tak masalah. Hanya lebih kurang 1 jam saja sudah sampai ke desa terdekat itu.

Di samping itu, mudahnya akses jalan untuk keluar-masuk kawasan hidup Orang Rimba, menjadi peluang bagi orang desa (luar) untuk berhubungan langsung dengan Orang Rimba. Mereka sengaja datang untuk menawar ladang milik Orang Rimba. Rupanya, tawar-menawar soal harga jual ladang/huma itu sudah menjadi hal yang biasa. Bagi Orang Rimba, keinginan untuk mempunyai motor mungkin sudah menjadi kebutuhannya. Namun yang jelas, haruskah untuk memenuhi kebutuhannya itu menjadikan lahan Orang Rimba hilang?
---***---
Bangko-Jambi, Agustus 2008

Anak-anak Krueng Lambeusoi

“Bang Aday, foto kami satu...” teriak Maulid dkk, memintaku untuk segera mensoting (memfoto) mereka ketika sedang mandi-mandi di sungai. Maulid dan anak-anak lainnya di kampung Ujong Muloh ini adalah murid-murid kami, Sokola Aceh.

Sejak berumur 5 tahunan, mereka sudah terbiasa mandi-mandi di krueng Lambeusoi ini. Karenanya, tak mengherankan anak-anak ini begitu pandai berenang dan berani melakukan lompatan salto – yang kadang-kadang juga dilakukan dari atas boat yang tengah bersandar.

Akmal, yang sedang asik berenang-renang di sungai itu, tiba-tiba diserbu oleh kawan-kawannya. Rupanya, yang lain jeli melihatnya membawa sampo. Segera saja sampo milik Akmal itu jadi bahan rebutan. Sampo dalam botol besar itu pun kini sisa setengahnya. Sepertinya mereka tak cukup sekali berkeramas. Bagi yang berambut agak panjang, mereka suka sekali membentuk rambutnya itu dengan model punk. Namun, begitu kepalanya ditenggelamkan ke dalam air, model punk-nya itu pun langsung telungkup. Lagi-lagi, mereka segera menyampo rambutnya agar bisa dibentuk model yang sama.

Rutinitas itu biasa mereka lakukan usai belajar bersama kami. Setelah puas mandi-mandi di sungai itu, anak-anak ini langsung menghampiriku. Mereka ingin melihat foto-foto digital yang tadi kujepret. “Lagak that!” katanya.
---***---

14 Juni 2008

Meunasah

Meunasah adalah sebutan bagi mushalla dalam bahasa Aceh. Sebenarnya, bila kita lihat dari segi ukurannya, meunasah mempunyai ukuran bangunan agak besar daripada mushalla pada umumnya. Namun, tidak lebih besar dari mesjid.

Keberadaan meunasah menandakan sebuah ‘pusat’ kebudayaan telah dibentuk dalam suatu komunitas. Karena meunasah di beberapa kampung di Aceh, tak hanya dipergunakan untuk kepentingan keagamaan saja (tempat ibadah). Meunasah bisa juga dipakai sebagai tempat berkumpul, musyawarah bagi warga untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kampung. Atau pada kasus tertentu seperti di beberapa kampung yang terkena bencana tsunami, meunasah sering juga dijadikan tempat/lokasi untuk membagikan bantuan logistik – sumbangan dari beberapa lembaga atau NGO untuk korban tsunami.

Begitu pentingnya keberadaan meunasah. Sehingga pembangunan meunasah itu terkadang menjadi prioritas pertama daripada fasilitas-fasilitas umum lainnya (seperti kantor desa, kantor pemuda, sekolahan, atau bahkan rumah tempat tinggal), sebagaimana yang terjadi di kampung Ujong Muloh ini.

Seperti halnya mesjid, meunasah juga memiliki kepengurusan sendiri dan dipimpin oleh seorang imeum meunasah. Imeum meunasah adalah seseorang yang dipilih atau ditunjuk untuk memimpin serta mempunyai tanggung jawab khususnya terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan di meunasah.

Sebagai pusat kebudayaan (dan juga keagamaan), meunasah mempunyai ‘posisi’ tersendiri dalam suatu komunitas. Di sini, karena hampir semua kegiatan kampung dipusatkan di meunasah, orang-orang cenderung normatif. Mereka yang jarang atau sama sekali tak pernah terlibat pada kegiatan-kegiatan di meunasah (entah itu kegiatan umum seperti musyawarah atau syukuran kampung, dan kegiatan keagamaan lainnya), cenderung dinilai kurang positif dan bahkan kurang dihargai.

Seorang warga pernah mengatakan, “Meski seseorang itu mempunyai pendidikan tinggi atau seorang PNS sekalipun, tapi kalau dia itu tak pernah pergi ke meunasah, maka apapun perkataannya tak akan didengar oleh orang lain.” Rupanya, pendidikan dan status yang disandang oleh seseorang di kampung ini tak begitu berpengaruh. Yang jelas, seseorang akan dipandang dan relatif dihargai bilamana ia sering terlihat ke meunasah terutama aktif pada kegiatan-kegiatan keagamaan.
---***---

15 Mei 2008

Penipuan Gaya Baru, Siapa Peduli?

Pernahkah di antara pembaca yang budiman memberikan uang sumbangan kepada orang-orang yang suka membawa kotak sumbangan amal, entah itu berupa sumbangan untuk pembangunan mesjid atau pesantren, maupun kotak sumbangan untuk kegiatan sosial lainnya?

Di kota Bandung, mungkin di antara kita pernah menjumpai orang-orang yang suka membawa kotak amal dan berpakaian agak meyakinkan: mengenakan baju koko dan berkopiah, dan biasanya ‘beroperasi’ di bis-bis kota maupun angkot. Kadang-kadang juga mereka suka berkhotbah sedikit, mungkin dengan harapan orang-orang di sekitarnya akan merasa tersentuh untuk segera memasukkan uang sumbangan ke dalam kotak amal yang dibawanya.

Dan percayakah bahwa uang sumbangan yang kita berikan itu akan dipergunakan dengan baik sebagaimana tulisan yang tertera pada kotak amal tersebut: “Sumbangan untuk pembangunan mesjid dan pesantren” atau “Sumbangan untuk yatim-piatu?”

Beberapa tahun kebelakang, saya sering jalan-jalan menelusuri sudut-sudut kota Bandung. Suatu hari saya berkunjung ke kawasan Tegal Lega – yang saat itu menjadi tempat penampungan sementara bagi pedagang pakaian bekas (Cimol, ala Tegal Lega). Ya biasalah kalau lagi ada duit, hunting kaos atau jaket bekas merk terkenal.

Udara cukup panas saat itu. Selain karena keadaan kios yang saling berdekatan, ramainya orang yang berbelanja hingga berdesakan semakin membuat kondisi tak nyaman. Tubuh berkeringat dan kerongkongan terasa kering. Saya pun pergi mencari tukang jualan teh botol. Warung kecil itu terletak di pojokan dekat WC umum. Tak apalah, meski lingkungannya kumuh dan menyebarkan bau tak sedap dari arah WC umum itu, saya menyempatkan duduk sebentar sambil menyeruput teh botol. Pandangan saya tertuju pada dua orang yang masing-masing menenteng satu kotak amal. Saya terus memperhatikannya. Mereka berdua berpakaian seperti yang diterangkan di atas.

Sungguh kelihatan aneh gelagat mereka berdua itu. Saya jadi curiga dan merasa ingin tahu lebih lanjut tentang perilaku mereka. Astaga, mereka dengan cuek-nya membuka kunci gembok kotak amal itu! Seorang dari mereka melirik ke arah saya. Aduh, kok saya merasa ketakutan begini. Sejenak saya berpaling ke arah lain. Tapi saya jadi penasaran dibuatnya. Saya pun pergi beranjak. Dengan berpura-pura meminjam korek pada seorang pedagang pakaian – membuat jarak agak dekat dengan kedua orang itu. Kini makin jelas perbuatan mereka. Dengan kunci yang mereka punya, gembok pun terbuka dengan mulusnya. Beberapa lembar uang kertas ribuan dan recehan uang logam itu sekarang terhampar pada sebuah meja. Salah seorang dari mereka lantas menghitungnya dan membagi uang itu dengan temannya. Kotak amal bertuliskan: “Sumbangan untuk pembangunan mesjid” itu mereka tutup dan menguncinya kembali.

Sepulangnya dari kawasan Tegal Lega itu, saya pun menceritakan kejadian tersebut pada kawan-kawan saya. “Wah, itu mah penipuan gaya baru,” komentar kawan saya. Penipuan gaya barukah?
---***----


14 Mei 2008

Pengalaman di-Sweeping TNI

"Gara-gara pulang terlalu malam, hampir saja kami jadi tawanan perang di daerah konflik."

Malam itu adalah malam Rabu (26 April 2005), kami berempat hendak pulang ke Banda Aceh dengan mobil labi-labi* yang kami sewa untuk assessment ke wilayah Lamno. Selesai makan di salah satu rumah makan di pasar Lamno, Bang Zulfar sopir kami bertanya, “Gimana apa kita terus pulang ke Banda Aceh?” Dan langsung saya timpali, “Terserah Abang lah. Kan Abang yang bawa mobil. Kalau tugas kami sementara ini cukup. Nanti lain hari saja kembali ke sini.” Kami pun berkemas.

Membeli senter
Kota Lamno petang itu diguyur hujan. Di kota ini, hari mulai gelap adalah pukul 19.00 waktu setempat. Bang Zulfar dan kedua kernetnya, Muklis dan Muksin berbincang dalam Bahasa Aceh. Rupanya, mereka mengkhawatirkan kondisi mobilnya yang tidak ada lampu penerangnya di bagian dalam penumpang. “Benar nih kita mau pulang sekarang ke Banda Aceh? Apa gak sebaiknya kita menginap saja di sini?” kembali Bang Zulfar menanyakan kepada kami soal kepastian pulang. “Iya Bang, pulang sekarang aja. Soalnya tanggung kalau harus menginap.” Bang Zulfar kembali berbicara kepada kawannya itu dan menyuruhnya untuk membeli senter. “Tunggu sebentar ya, kita harus beli senter dulu.” Sebelum Bang Zulfar memarkir labi-labinya, Muklis dan Muksin sibuk memasang senter di dalam kendaraan itu. Senter pun diikatnya pada sebuah pipa besi yang menjulur membelah langit-langit mobil**. Kami pun naik dan Bang Zulfar mulai men-starter labi-labinya. Kira-kira pukul 19.30 Kota Lamno yang banyak dihuni penduduk berketurunan Portugis ini, mulai kami tinggalkan.

Hanya gelap malam yang kami tengok lewat jendela labi-labi. Selama di perjalanan kami mengobrol dengan Muklis dan Muksin. Mereka masih muda dan bersaudara. Obrolan yang akrab sambil menghabiskan beberapa batang rokok, menceritakan soal konflik yang terjadi di Aceh. Sebuah tema yang begitu sensitif. Di antara mereka, hanya Muklis yang banyak bercerita. Sementara Muksin hanya ketawa saja. “Sebelum tsunami dulu, Bang, kita mana bisa jalan-jalan malam seperti ini. Cari mati itu namanya.” Selain mengobrol kesana-kemari, mereka juga mengajarkan kami berbahasa Aceh. Tapi yang mereka ajarkan adalah bahasa yang jorok-jorok. Seperti bagaimana menggoda wanita atau cara merayunya. Ah biarlah, yang penting suasana di dalam labi-labi itu jadi cair dengan cerita-cerita mereka yang lucu.

Memasuki daerah Lhoong, kami pun terdiam. Daerah ini sepi. Hanya deburan ombak terdengar menerjang daratan. “Ini musim Barat, Bang. Ombaknya sedang besar.” Kembali Muklis memecah kebekuan. “Sebelum tsunami, daerah ini padat penduduknya. Seperti yang Abang lihat tadi siang, tidak ada satu rumah pun yang tinggal. Semuanya habis diambil tsunami, Bang.”

Memasuki daerah Lhok Nga
Bang Zulfar begitu kencang membawa labi-labinya. Tak terasa perjalanan pun memasuki daerah Lhok Nga. Daerah ini dikenal dengan pantai wisatanya yang indah. Dulu, banyak kedai-kedai didirikan di pinggir pantai. Konon, kedai-kedai pantai di daerah ini ramai dikunjungi karena dijadikan tempat favorit bagi pasangan muda-mudi yang berpacaran. Selain itu juga di daerah ini terdapat pabrik semen – yang juga rusak berat diterjang tsunami.

Jalanan aspal yang masih tersisa dimanfaatkan Bang Zulfar untuk lebih memacu labi-labinya. Di depan ada kapal melintang. Kapal itu adalah salah satu kapal barang milik PT. SAI yang terdampar menutupi jalur jalan akibat terseret gelombang tsunami. Bang Zulfar dengan lincahnya membelokan labi-labi ke kanan. Ini jalan baru yang dibuat untuk menghindari kapal yang melintang. Rupanya, Bang Zulfar tidak menyadari kalau mobilnya terus melaju lurus memasuki jalanan berbatu coral. Seharusnya setelah menghindari kapal yang melintang, labi-labi belok ke kiri memasuki jalanan aspal lagi ke arah Banda Aceh. Di dalam labi-labi, saya bertanya kepada Muklis dan Muksin. “Ini daerah mana? Kok sebelah kiri-kanan hutan? Harusnya kan sebelah kiri kita itu laut.” Kami pun mulai mengamati suasana dari jendela labi-labi. Muklis dan Muksin menggelengkan kepala. Muklis berinisiatif mengetuk jendela kaca labi-labi di belakang sopir – mengingatkan Bang Zulfar bahwa jalan yang dilaluinya salah. Namun, Bang Zulfar malah makin menambah kecepatan labi-labinya.

Salah jalan
“Woii... Berhenti!” Tiba-tiba saja ada teriakan menyuruh labi-labi yang kami tumpangi berhenti. Bang Zulfar mengerem kendaraannya. Di luar, nampak puluhan cahaya senter menghampiri kami. Begitu cepatnya! Bersamaan dengan itu, labi-labi berhenti. Labi-labi kami dikepung oleh serombongan orang-orang. Salah seorang dari mereka mengetuk pintu belakang dan menyuruh kami keluar. Kami juga mendengar bunyi kokangan senjata. Kami pun keluar dengan perasaan panik. Sambil jalan jongkok dengan tangan di atas kepala, kami digiring ke depan mobil. Lantas, disuruh berjongkok. Mata saya silau karena disorot lampu mobil dan senter yang mengena ke wajah saya. Kami makin panik dan ketakutan. Betapa tidak, todongan senjata laras panjang ditujukan ke kening kami masing-masing. Sambil menenangkan perasaan, saya memberanikan diri menatap orang yang menodong saya. Hati saya ciut. Di depan saya adalah orang dengan pakaian tentara lengkap. Setelan perang. Memakai helm warna hijau. Sementara teman-teman saya ada yang ditodong oleh orang berpakaian seadanya. Berkaos dan bercelana pendek.

KTP diperiksa
Hati saya mulai tenang saat saya melihat tali bendera berwarna merah putih yang diikatkan pada laras senjata. “Oh... ternyata TNI.” Bisik saya dalam hati. Kami dihujani pertanyaan macam-macam. Mereka menginterogasi. Ada yang membentak sembari memelototi. Saya kebingungan. Harus menjawab pertanyaan yang mana. Pasalnya, tiap satu orang dari kami, dikerubuti oleh sekitar enam orang – yang masing-masing dari mereka melemparkan pertanyaan yang harus saya jawab. Ada yang mengancam akan memberondong karena kami dikira musuh. Ada satu orang di antara mereka yang meminta identitas kami. Mereka tidak percaya dengan pengakuan kami sebagai relawan. Terus terang saja, kami datang ke Aceh tidak seperti relawan kebanyakan yang pada umumnya menggantungkan name tag – identitas sebagai relawan kemanusiaan. “Masa relawan seperti ini?! Mana surat tugas dan KTP kalian!” Kami pun memperlihatkan seperti apa yang mereka suruh. Sungguh detil pemeriksaan itu. Sampai-sampai alamat yang tertera dalam KTP saya pun tak luput dari perhatiannya. Di KTP saya tertulis Kec. Katapang. “Nah, ini ada orang Katapang rupanya! Kamu GAM ya?!”*** Tanya orang itu. “Bukan, Pak. Itu Katapang – Bandung.” Jelas saya.

Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin
Ketiga orang ini dipisahkan dari kami. Kami menghawatirkan keadaan Bang Zulfar, Muklis, dan Muksin. Salah seorang tentara lain menanyakan kepada kami. “Siapa mereka bertiga ini?” “Oh abang-abang ini adalah sopir kami, Pak.” Dan saya juga mendengar Bang Zulfar, dkk. diinterogasi dengan pertanyaan macam-macam juga. Bahkan berkesan melecehkan. Seorang tentara menghampiri kami, “Hei... kalian percaya dengan sopir kalian itu?” Dan kami meyakinkan para tentara itu dengan menjawab, “Betul, Pak, mereka itu adalah sopir kami yang sudah kami kenal sejak lama.” Di antara para tentara yang menginterogasi kami, ada yang mengatakan, “Sudah-sudah sekarang biar para relawan ini saja yang disuruh pulang jalan kaki. Sopirnya biar ditinggal saja di sini.” Saya sempat menatap Bang Zulfar, dkk. Saya makin khawatir dengan keadaannya.

Satu setengah jam
Malam itu kira-kira pukul 23.30. Kurang lebih satu setengah jam lamanya kami diinterogasi. Seorang tentara berkaos dan bercelana pendek menghampiri saya. Saya mengira dia adalah komandannya. Dia menggiring dan membawa saya ke tempat gelap. Saya menyadari bahwa teman-teman saya yang lain sudah tidak ada di dekat saya. Keberadaan teman-teman saya tidak saya ketahui. Mungkin digiring juga ke suatu lokasi lain. Hati saya pasrah saja. Mau gimana lagi? Saya mengikuti langkah tentara tadi. Selang beberapa meter dari tempat semula, orang itu menyuruh saya mengeluarkan hand phone. Wah, mau diapain lagi nih. “Coba sekarang kamu hubungi bos kamu yang ada di Jakarta itu. Di sekitar sini ada sinyal HP.” Saya disuruh mengontak Jakarta. Nomor yang saya hubungi aktif. Begitu tersambung, HP saya pun direbutnya. “Hallo, betul di Aceh ada stafnya yang bertugas sebagai relawan?” Setelah mendapat penjelasan dari suara HP di seberang sana, tentara yang menggiring saya pun mengajak kembali ke tempat kami diinterogasi semula. Teman-teman saya sudah menunggu di depan labi-labi. Begitu juga Bang Zulfar, dkk. Orang-orang yang menginterogasi kami akhirnya menyuruh kami cepat-cepat pulang ke Banda Aceh. Sial, semua perbekalan makanan termasuk rokok yang disimpan di jok labi-labi hilang. Tak apalah, yang penting kami selamat.
---***---
* Labi-labi adalah sejenis kendaraan transportasi umum di kota Banda Aceh. Bedanya dengan angkot-seperti di kota-kota di Jawa, letak pintu labi-labi penumpang berada di belakang. Dan tentu saja antara penumpang yang berada di belakang dengan sang sopir dibatasi oleh kaca – umumnya labi-labi di kota ini dilapisi oleh kaca film hitam yang tebal.

** Karena lampu bagian dalam labi-labi yang kami tumpangi tidak berfungsi, maka dipasangi lampu senter. Menyalakan lampu mobil bagian dalam adalah sebuah aturan - yang jika tidak ditaati bisa fatal. Seperti dikatakan Bang Zulfar, "jika tidak menyalakan lampu mobil bagian dalam, salah-salah kita dikira pasukan GAM."

*** Mereka curiga dengan nama daerah Katapang. Karena di sekitar Banda Aceh ada daerah yang mirip dengan alamat yang ada pada KTP saya.
Bandung, Mei 2007